TEMPO.CO, Jakarta -Menjalani kehidupan keras di negara kelahirannya, Gambia di Afrika barat mengantarkan Fatou Bensouda menjadi wanita Afrika dan Muslim pertama yang dipercaya menjadi Jaksa Kepala Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC dan segera menyelidki kekejaman terhadap Rohingya.
Fatou Bensouda lahir pada 31 Januari 1961 dari keluarga Muslim di Banjul, Gambia. Meskipun hidup dalam keluarga dengan jumlah yang sangat besar, namun keadaan ekonomi keluarganya cukup baik mengingat ayahnya bekerja sebagai staf di pemerintahan dan merupakan promotor gulat nasional.
Baca: ICC Bakal Investigasi Pengusiran Etnis Rohingya
Ketertarikannya dalam dunia hukum terlihat sejak usia belia. Bensouda sering menyelinap ke gedung pangadilan untuk menyaksikan secara langsung proses persidangan. Kasus-kasus yang menjadi perhatiannya saat itu adalah kekerasan terhadap wanita dan anak.
Dia menyelesaikan kuliah hukumnya di Nigeria sebelum kembali ke negara asalnya pada tahun 1987 untuk bekerja sebagai jaksa penuntut di bawah rezim Yahya Jammeh. Pemerintahan Jammeh telah berulang kali dikecam karena tidak menghormati hak asasi manusia. Pemerintahan di bawah Jammeh dianggap sebagai salah satu rezim kediktatoran terburuk di dunia.
Karirnya di pemerintahan Gambia berakhir pada tahun 2000. Sejak itu Bensouda memfokuskan dirinya untuk mengadvokasi wanita dan anak-anak yang menjadi korban pelanggaran HAM. Untuk usahanya itu ia mendapat banyak pujian dari berbagai pihak termasuk dari aktivis dan kelompok-kelompok pengiat HAM.
Bergabung dengan ICC pada 2004. Kemudian ICC delapan tahun kemudian, tepatnya 15 Juni 2012, ICC mengangkat Bensouda menjadi Jaksa Kepala menggantikan Luis Moreno-Ocampo. Bensouda dipilih oleh 121 negara anggota ICC. Dia adalah wanita Afrika dan Muslim pertama yang memegang posisi itu.
Dia mewarisi 14 kasus yang tertunda dan 11 surat perintah penangkapan untuk kasus pelanggaran HAM luar biasa, dimana 10 di antaranya adalah untuk kasus yang terjadi di Afrika.
Anggota DK PBB mendengarkan cerita Nadia Murad Basee, wanita 21 tahun dari etnis Yazidi yang menjadi korban pemerkosaan dan penyiksaan militan ISIS di markas PBB di New York, 16 Desember 2015. PBB mendesak DK PBB untuk membawa kasus ini ke Pengadilan Kriminal Internasional untuk diselesaikan. REUTERS
Sebelum bekerja di ICC, Bensouda bekerja sebagai Penasihat Hukum dan Pengacara di Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda atau ICTR di Arusha, Tanzania. Dia kemudian naik jabatan ke posisi Penasehat Hukum Senior dan Kepala Unit Penasihat Hukum.
Sebelum bergabung dengan ICTR, dia menjabat sebagai general manager dari bank komersial terkemuka di Gambia. Antara 1987 dan 2000, secara berurutan ia menjadi penasihat senior negara, penasihat kepala negara, wakil direktur penuntutan umum, pengacar dan sekretaris hukum republik, jaksa agung dan menteri kehakiman Gambia, serta menjabat sebagai kepala penasihat hukum untuk Presiden dan kabinet Republik Gambia.
Baca: ICC Memeriksa Pengaduan Atas Duterte Soal Extrajudicial Killing
Bensouda juga mengambil bagian dalam negosiasi tentang perjanjian Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), Parlemen Afrika Barat dan Tribunal ECOWAS. Dia telah menjabat sebagai delegasi untuk konferensi PBB tentang pencegahan kejahatan, Pertemuan Tingkat Menteri Organisasi Kesatuan Afrika tentang Hak Asasi Manusia, dan sebagai delegasi dari Gambia ke pertemuan Komisi Persiapan untuk Pengadilan Pidana Internasional.
Dia memiliki gelar master dalam Hukum Maritim Internasional dan Hukum Laut, menjadikan ahli hukum maritim internasional Gambia yang pertama.
Bensouda menikah dengan seorang pengusaha Gambia-Maroko, Phillip Bensouda, dan mereka memiliki tiga anak, salah satunya diadopsi.
Namun awal tahun 2017, Bensouda harus menerima kenyataan pahit bahwa putranya menjadi korban penembakan di Amerika Serikat dan tewas. George Bensouda, 33, ditembak mati di luar St. Paul Saloon di daerah Bluff di Dayton pada malam 29 Januari.
Rekam jejaknya dalam menuntut pelaku kejahatan kemanusiaan membuatnya dijuluki The Guardian sebagai Wanita Pemburu Tirani dan disebut sebagai salah satu wanita Afrika paling berkuasa di dunia. Majalah Time menyebut Bensouda sebagai salah satu orang paling berpengaruh di dunia pada tahun 2012.
Baca: ICC: Kematian Qadhafi Kemungkinan Kejahatan Perang
Bensouda telah menerima berbagai penghargaan, yang paling terkenal, Penghargaan Internasional Jurisi ICJ (2009), yang dipresentasikan oleh Presiden India P. D. Patil. Bensouda diberikan penghargaan ini untuk kontribusinya terhadap hukum pidana baik di tingkat nasional dan Internasional.
Bensouda juga telah dianugerahi Penghargaan Perdamaian Dunia Melalui Hukum 2011 yang dipresentasikan oleh Whitney Harris World Law Institute, Universitas Washington, yang mengakui karyanya dalam meningkatkan secara signifikan aturan hukum dan dengan demikian memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia.
Dalam sebuah wawancara khusus, Fatou Bensouda mengaku bahwa tekad menyelesaikan kasus hukum telah terpatri dalam dirinya dan merupakan DNA dalam dirinya. Kini serangkaian kasus pelanggaran kemanusiaan terbentang di hadapan Bensouda yang sudah harus diselesaikan sebelum masa jabatannya berakhir di ICC pada 15 Juni 2021, di antaranya kasus kejahatan kemanusiaan yang dialami etnis minoritas Rohingya.
TIME|ICC|AFRICA SUCCES