TEMPO.CO, Den Hague -- Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mulai memeriksa pengaduan terhadap Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, terkait perang terhadap narkoba, yang dikabarkan telah merenggut 4000 jiwa sejak digelar Juli 2016.
Duterte mengerahkan polisi dan tentara untuk mengejar para bandar dan pengedar narkoba lalu menembak mati mereka lewat mekanisme yang dikenal sebagai extrajudicial killing.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memegang sebuah senjata saat mengunjungi tentara yang memerangi kelompok ekstremis Maute di Marawi, Filipina, 24 Agustus 2017. Presidential Palace/Handout via REUTERS
Baca: ICC Selidiki Kejahatan Kemanusiaan Presiden Rodrigo Duterte
Para aktifis Hak Asasi Manusia meyakini jumlah korban yang tewas lebih banyak.
Baca Juga:
Baca: Wow, Duterte Hancurkan Puluhan Mobil Mewah Senilai Rp 16,2 Miliar
Kepala Jaksa Penuntut ICC, Fatou Bensouda, mengatakan pemeriksaan kasus ini untuk menentukan apakah Duterte telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Poin kedua adalah apakah pengadilan berbasis di Haque ini memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara ini dan membawa tersangka ke proses persidangan.
"Sejumlah pembunuhan itu dilaporkan terjadi dalam konteks perang antargang, namun ada dugaan banyak pembunuhan itu merupakan extrajudicial killing dalam operasi penanganan narkoba oleh polisi," kata Bensouda.
Juru bicara Duterte, Harry Roque, mengatakan pengadilan akan mendakwa Presiden Filipina ini dengan dakwaan kejahatan melawan kemanusiaan. Namun, Bensouda belum menyatakan secara jelas siapa yang bakal menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Roque menyebut tindakan ICC ini sebagai membuang-buang waktu dan sumber daya pengadilan. Namun, dia mengakui telah membahas hal ini dengan Duterte sampai dua jam. Saat itu, Duterte mengaku siap menjalani proses pengadilan.
"Dia bosan dan lelah menjadi tertuduh," kata Roque, seorang ahli hukum internasional. "Dia ingin berada di pengadilan berhadapan dengan jaksa penuntut."
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengenakan rompi antipeluru dan helm saat mengunjungi tentara yang memerangi kelompok ekstremis Maute di Marawi, Filipina, 24 Agustus 2017. Kunjungan Duterte tersebut digelar usai tentara Filipina berhasil merebut sebuah masjid utama di Marawi. Presidential Palace/Handout via REUTERS
Sebelumnya, Duterte telah menantang ICC untuk mengadilinya. Dia mengaku bersedia dipenjara untuk menyelamatkan Filipina dari kejahatan dan narkoba.
Duterte juga telah memaki ICC sebagai hipokrit dan tidak berguna setelah Bensouda menyuarakan keprihatinan pada tahun lalu soal operasi antinarkoba yang menelan banyak jiwa. Duterte juga mengancam untuk membatalkan keanggotaan Filipina di ICC dan menyebut pengacara Eropa sebagai busuk dan bodoh.
Senator Filipina, Antonio Trillanes, dan anggota Kongres Filipina, Gary Alejano, telah berkirim surat mendesak ICC untuk melakukan investigasi terhadap Duterte termasuk perintahnya kepada petugas hukum untuk menembak dan membunuh para pengedar narkoba.
Trillanes mengatakan investigasi ICC ini untuk menunjukkan kepada Duterte bahwa dia tidak berada di atas hukum.
ICC dibentuk pada 2002 dan telah mendapat 12 ribu pengaduan atau laporan namun hanya 9 kasus saja yang pernah diproses ke persidangan.
Investigasi penduluan merupakan langkah formal awal yang dilakukan jaksa penuntut untuk mengetahui apakah sebuah peristiwa di salah satu negara anggota ICC bisa dikenai dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bensouda akan memulai proses investigasi atas Duterte, yang bakal menghabiskan waktu beberapa tahun seperti mengumpulkan informasi mengenai tindak kejahatan yang terjadi. Dia akan menimbang apakah kejahatan itu cukup serius untuk diproses di persidangan ICC. Dan apakah lembaga itu memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus kejahatan dimaksud karena ini hanya bisa dilakukan jika sistem hukum di negara anggota gagal mengadilinya. Jika Bensouda akan melanjutkan dengan investigasi resmi maka dia akan meminta persetujuan dari hakim internasional.