TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak lima belas lembaga bantuan kemanusiaan internasional menyatakan bakal memboikot lokasi kamp pengungsi yang diusulkan pemerintah Myanmar untuk warga etnis Rohingya yang kembali ke negara itu.
Mereka mendesak warga etnis Rohingya dikembalikan ke desa-desa mereka di negara bagian Rakhine, di sebelah utara Myanmar. "Tidak boleh ada bentuk-bentuk kamp atau pemukiman tertutup," begitu pernyataan bersama 15 lembaga ini dalam rilis yang disiarkan media SBS, Senin, 11 Desember 2017. "Lembaga non-pemerintah internasional tidak akan mau beroperasi di kamp pengungsi yang mereka (pemerintah Myanmar) buat seperti itu."
Baca: Bangladesh Siapkan Pulau Khusus untuk Muslim Rohingya
Baca: Paus Fransiskus Berkunjung ke Myanmar Temui Rohingya dan Suu Kyi
Warga etnis Rohingya melakukan pengungsian besar-besaran ke Bangladesh setelah diserang militer Myanmar dan milisi Budha garis keras pada pertengahan Agustus 2017. Saat itu militer Myanmar dan milisi beralasan sedang mengejar kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army, yang menyerang pos-pos polisi dan militer.
Namun, militer Myanmar dan milisi malah menyerang penduduk etnis Rohingya di rumah-rumah di desa mereka. Mereka menembaki, memukuli hingga melakukan pembakaran rumah serta ladang milik etnis Rohingya. Sejumlah saksi mengatakan para tentara Myanmar juga melakukan pemerkosaan dan pembakaran korban sipil etnis Rohingya yang tewas untuk menghilangkan jejak. PBB menyebut ini sebagai pembersihan etnis.
Saat ini ada sekitar 650 ribu warga etnis Rohingya yang menyelamatkan diri ke perbatasan Bangladesh yaitu daerah Cox Bazar. Sebagian mereka bertemu dengan Paus sekitar dua pekan lalu. Paus mendoakan mereka dan mengecam orang-orang yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya.
Pada saat yang sama, bantuan dana kemanusiaan dari Hong Kong terus mengalir untuk para pengungsi Myanmar. Koordinator Respon Darurat UNHCR, Joung-ah Ghedini-William, mengatakan total sumbangan telah mencapai sekitar Rp9 miliar. "Donasi ini melebihi sumbangan dari banyak negara Eropa yang selama ini kerap menyumbang," kata dia.
SBS | REUTERS | SCMP