Tindakan Keras terhadap Para Demonstran Pro-Palestina
Tak hanya di wilayah Palestina, para pengunjuk rasa Pro-Palestina di negara-negara yang jauh dengan Palestina dan Israel pun mendapat perlakuan yang tak kalah menyakitkan.
Polisi Inggris pada 24 Juli 2024 menangkap sembilan orang dalam sebuah protes menentang ekspor senjata ke Israel yang sempat memblokir jalan di luar kementerian luar negeri, menyoroti tekanan terhadap pemerintahan Partai Buruh yang baru atas sikapnya terhadap perang Gaza. Para pengunjuk rasa pro-Palestina di Inggris telah mendesak pemerintah untuk melarang penjualan senjata ke Israel menyusul serangannya ke Gaza sebagai tanggapan atas serangan 7 Oktober.
Lebih dari selusin orang ditangkap di Universitas Stanford, California, Amerika Serikat, pada 5 Juni 2024. Para pengunjuk rasa pro-Palestina membarikade diri mereka sendiri di dalam kantor rektorat, bentrok dengan pihak berwenang terkait konflik Israel-Gaza.
Sekitar 10 orang mahasiswa memasuki gedung kantor administrasi sekitar pukul 5:30 pagi. pada hari terakhir kelas untuk kuartal musim semi, menurut surat kabar mahasiswa The Stanford Daily, sementara sekitar 50 mahasiswa menautkan senjata dan mengepung gedung, meneriakkan, "Palestina akan bebas."
Lebih dari dua lusin pengunjuk rasa ditangkap pada Sabtu, 31 Agustus 2024, dalam sebuah intervensi polisi yang brutal, dalam contoh tindakan keras Jerman yang agresif terhadap suara-suara pro-Palestina di negara tersebut.
Dalam video yang diposting di media sosial, para petugas polisi terlihat membanting para pengunjuk rasa damai ke tanah, berulang kali memukuli para pengunjuk rasa yang mereka jepit di tanah, dan meninju mereka di kepala atau wajah.
Pekan lalu, 5 September 2024, Imane Maarifi ditangkap oleh pihak berwenang Prancis, yang menggerebek rumahnya pada dini hari tanggal 5 September dan membawanya pergi sementara suami dan dua anaknya melihat tanpa daya.
Maarifi adalah salah satu orang Prancis pertama yang menginjakkan kakinya di Gaza setelah Israel melancarkan serangan ke daerah kantong tersebut pada Oktober tahun lalu.
Perawat terlatih ini menjadi sukarelawan selama dua minggu di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis pada awal tahun ini, dan telah menjadi advokat yang vokal untuk Palestina sejak kepulangannya, membagikan kesaksiannya yang mengerikan di berbagai demonstrasi dan bahkan di parlemen Prancis.
Ini adalah beberapa contoh dari betapa sulitnya menyuarakan solidaritas untuk rakyat Palestina, terutama di negara-negara Barat.
ARAB NEWS | AL JAZEERA | ANADOLU | REUTERS
Pilihan Editor: Yahya Sinwar Berkirim Surat kepada Pemimpin Hizbullah, Ini Pesannya