TEMPO.CO, Jakarta - Setidaknya enam sekolah yang dikelola PBB yang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi Palestina telah dihantam serangan Israel dalam 10 hari terakhir.
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) mengatakan 120 lembaga pendidikan mereka telah dihantam sejak Israel memulai perang di Gaza pada 7 Oktober lalu.
Keluarga-keluarga yang tinggal di ruang kelas yang sudah tidak terpakai menghadapi kelelahan, trauma, serta kondisi tempat penampungan yang penuh sesak dan tidak sehat, yang jauh melebihi kapasitas.
Terlepas dari kondisi yang sulit dan risiko pengeboman, banyak yang mencari tempat yang relatif aman di sekolah-sekolah PBB, beberapa di antaranya dipandu oleh ingatan akan perang di masa lalu di mana tempat ini menyediakan tempat perlindungan. Setidaknya sejak 2017, beberapa di antaranya dirancang untuk berfungsi sebagai tempat penampungan darurat dengan fasilitas listrik, sanitasi, dan generator.
Mencari Perlindungan
"Anda berharap afiliasi PBB dapat melindungi Anda," kata jurnalis Mohammed Mhawish, 25 tahun, yang berlindung di sekolah yang dikelola PBB di Kota Gaza bersama istri, anaknya yang berusia dua tahun, dan kedua orang tuanya setelah Israel menghancurkan rumah mereka pada Desember lalu. Serangan itu membuat mereka terperangkap di bawah reruntuhan selama dua jam hingga para tetangga membebaskan mereka.
"Anda harus ingat, hanya ada sedikit kompleks perumahan, atau tempat lain di Gaza di mana Anda bisa berlindung," katanya, mengingat bagaimana tetangganya membawa keluarga yang terluka itu setelah menyelamatkan mereka.
Segera menjadi jelas bahwa apartemen itu penuh sesak. Namun, pengeboman dan serangan darat Israel lebih lanjut di lingkungan mereka yang memaksa keluarganya untuk berjalan kaki selama satu setengah jam ke sekolah terdekat yang dikelola PBB, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan mobil.
"Ini adalah titik sentral. Tidak ada tempat lain di mana Anda dapat mengakses bantuan atau obat-obatan," katanya, berbicara dari Kairo di mana keluarganya sekarang tinggal. "Yang jelas, tidak banyak. Semuanya sangat terbatas. Anda sepertinya menghabiskan seluruh waktu untuk mengantre demi mendapatkan yang lebih sedikit dan lebih sedikit lagi, tetapi itu adalah sesuatu."
Di musim dingin, selimut dan kasur sangat terbatas dan mereka terpaksa minum dari sumber air yang terkontaminasi, sehingga meningkatkan risiko sakit. Dan selalu ada ancaman pengeboman.
"Selalu ada ancaman," kenang Mohammed, "Tidak ada tempat yang aman. Orang-orang hanya duduk dan menunggu."
Namun, bagi sebagian orang, ada rasa dukungan. "Bagi sebagian orang, ada baiknya berada di sekitar orang lain yang pernah mengalami trauma yang sama," katanya. "Orang-orang saling berbagi pengalaman dan itu bisa membantu."
Namun bagi Mohammad, yang tak tertahankan adalah melihat bagaimana putranya, Rafik, mengalami trauma setelah pengeboman, padahal mereka selamat. "Dia berhenti berkomunikasi. Dia tidak mau menangis. Dia tidak mau menunjukkan emosi apa pun, tidak ada apa-apa," kenang Mohammad. "Dia berhenti mengingat bagaimana menjadi seorang anak kecil."
Kemudian perintah evakuasi dari Israel pada Januari memaksa mereka untuk meninggalkan sekolah dan mencari perlindungan di garasi sebuah gedung apartemen yang hancur.