TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang baru pengungsi Rohingya yang terdiri dari sekitar 2 ribu orang masuk Bangladesh setelah runtuhnya pemerintahan Sheikh Hasina pada 5 Agustus lalu. Perkembangan terbaru ini terjadi bertepatan dengan peringatan “Hari Genosida Rohingya” ketujuh pada Minggu, 25 Agustus 2024. Masuknya ribuan pengungsi baru tersebut menyebabkan beberapa personel Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) meninggalkan pos mereka karena takut akan pembalasan publik.
Para pengungsi baru sebagian besar telah berlindung di tiga dari 27 kamp yang tersedia, menurut pantauan kantor berita Anadolu setelah berbicara dengan para pemimpin komunitas pengungsi. Pejabat BGB telah mengakui masuknya pengungsi dalam jumlah signifikan, tetapi telah mengindikasikan bahwa mereka secara aktif mencegah kedatangan tambahan.
Baca juga:
“Kami telah menahan sedikitnya dua lusin pengungsi Rohingya baru hari ini,” kata seorang komandan BGB, yang tidak ingin disebutkan namanya, kepada Anadolu pada Sabtu. Para tahanan ditahan di sebuah pos pemeriksaan darurat, menurut pengamatan kantor berita tersebut.
Sementara itu, di perbatasan timur Bangladesh, kemajuan Tentara Arakan (AA) ke distrik Maungdaw telah memaksa ribuan warga Rohingya mengungsi. Tentara tersebut merupakan bagian dari gerilyawan pro-demokrasi dan kelompok bersenjata etnis minoritas yang telah berjuang untuk menyingkirkan junta militer yang melancarkan kudeta terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 2021.
Semua itu terjadi saat para pengungsi Rohingya yang terdampar di kamp-kamp di Bangladesh selatan memperingati “Hari Genosida Rohingya” ketujuh, ketika sekitar satu juta pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras yang dipimpin militer.
Mereka berkumpul di lapangan terbuka di kamp Kutupalong di distrik Cox’s Bazar sambil membawa spanduk dan karangan bunga bertuliskan “Harapan adalah Rumah” dan “Kami Rohingya adalah warga negara Myanmar”, menurut pantauan Associated Press (AP).
Pada 25 Agustus 2017, ratusan ribu pengungsi Rohingya mulai menyeberangi perbatasan ke Bangladesh dengan berjalan kaki dan menaiki perahu untuk melarikan diri dari pembunuhan tanpa pandang bulu dan kekerasan lainnya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Setahun kemudian pada Agustus 2018, kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa para jenderal militer Burma harus diadili atas tuduhan genosida. Pada 23 Januari 2020, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Myanmar untuk mencegah kekerasan genosida terhadap minoritas Rohingya.
Refugees International, organisasi independen yang mengadvokasi hak-hak pengungsi, menyerukan perhatian dan bantuan global untuk komunitas Rohingya. Daniel Sullivan, selaku direktur untuk Afrika, Asia, dan Timur Tengah Refugees International, mengatakan sangat penting bagi Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di Asia Selatan dan Tenggara untuk menekan junta dan AA agar mengakhiri pertempuran.
“Negara-negara seperti Bangladesh, tempat Rohingya melarikan diri, harus menjaga perbatasan mereka tetap terbuka, menahan diri dari pemulangan, dan – didukung oleh donor internasional – menyediakan bantuan makanan dan medis serta peluang mata pencaharian dan pendidikan,” katanya.
ANADOLU
Pilihan editor: Benjamin Netanyahu Respons Serangan Hizbullah: Israel Bertekad Membela Diri
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini