TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Libya memecat Menteri Luar Negeri Najla Mangoush setelah pertemuannya dengan Menlu Israel melahirkan kecaman dan protes di sejumlah kota, Senin malam, 28 Agustus 2023.
Mangoush mengatakan pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen di Roma tidak direncanakan dan bersifat informal, namun seorang pejabat Israel mengatakan kepada Reuters bahwa pertemuan itu berlangsung selama dua jam dan disetujui “di tingkat tertinggi di Libya”.
Pertemuan tersebut kontroversial karena Libya tidak secara resmi mengakui Israel dan terdapat dukungan publik yang luas di seluruh spektrum politik Libya terhadap perjuangan Palestina untuk mendirikan negara merdeka di wilayah yang diduduki Israel.
Perselisihan mengenai pertemuan tersebut telah menambah krisis politik internal Libya, memberikan amunisi kepada lawan Perdana Menteri Abdulhamid al-Dbeibah pada saat masa depan pemerintahan sementaranya sudah dipertanyakan.
Libya tidak memiliki pemerintahan pusat yang stabil sejak penggulingan Muammar Gaddafi pada tahun 2011. Pemerintahan sementara Dbeibah, yang menjabat sejak 2021, tidak diakui oleh beberapa faksi besar dan terdapat momentum politik menggantikannya dengan pemerintahan terpadu baru yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan stabil.
Para pengunjuk rasa berdemonstrasi di depan Kementerian Luar Negeri Libya pada Minggu malam, menyebabkan beberapa kerusakan di luar gedung, di mana pasukan keamanan dalam jumlah besar terlihat pada Senin pagi. Protes terjadi di wilayah lain di Tripoli, serta kota-kota lain.
Ban terbakar memblokir beberapa jalan utama di Tripoli pada hari Senin dan bendera Palestina dikibarkan di Benghazi tengah, namun tidak ada tanda-tanda kekerasan.
Kantor Mangoush berusaha meredam kemarahan pada Minggu malam, dengan mengatakan bahwa dia telah menolak permintaan pertemuan resmi dengan Cohen, namun mereka bertemu dalam pertemuan yang tidak direncanakan saat dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani.
Pejabat Israel membantah pernyataan tersebut. “Pertemuan itu dikoordinasikan di tingkat tertinggi di Libya dan berlangsung hampir dua jam. Perdana Menteri Libya melihat Israel sebagai jembatan yang memungkinkan bagi Barat dan pemerintah AS,” kata pejabat itu.
Seorang pejabat Libya mengatakan Dbeibah telah meminta Italia untuk mengatur pertemuan tersebut dengan harapan mendapatkan dukungan lebih kuat dari AS dan internasional lainnya untuk pemerintahan sementaranya.
“Pemerintah khawatir dukungan internasional akan melemah dan hilang,” kata pejabat itu.
Sebuah sumber diplomatik di Italia mengatakan kementerian luar negeri Libya dan Israel telah melakukan kontak "selama beberapa waktu" sebelum pertemuan tersebut tanpa keterlibatan Italia, namun keduanya telah meminta bantuan Italia dalam menyediakan lokasi untuk bertemu.
Sejak tahun 2020 Israel telah menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan melalui apa yang disebut "Perjanjian Abraham" yang ditengahi oleh Amerika Serikat, yang memandang perjanjian lebih lanjut dengan negara-negara Arab sebagai tujuan regional utama.
Pemerintahan Persatuan Nasional (GNU) Dbeibah, yang dibentuk melalui proses dukungan PBB, telah mendorong hubungan lebih kuat dengan semua negara, termasuk UEA dan sekutu utama Israel, Amerika Serikat.
Parlemen Libya yang berbasis di wilayah timur, yang menolak GNU, mengatakan pada hari Minggu bahwa pihaknya akan mengadakan dengar pendapat mengenai pertemuan dengan menteri Israel itu. Dewan Kepresidenan yang bermarkas di Tripoli telah meminta Dbeibah untuk memberikan klarifikasi mengenai pertemuan tersebut dan Dewan Tinggi Negara, sebuah badan penting lainnya, mengecamnya.
Setelah pertempuran di Tripoli bulan ini, banyak warga Libya yang akan mengamati apakah faksi-faksi bersenjata yang menentang Dbeibah menggunakan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk bergerak melawannya.
Diplomasi berfokus pada pemilu nasional untuk menyelesaikan konflik internal. Pekan lalu utusan PBB untuk Libya mengatakan diperlukan pemerintahan baru yang bersatu agar pemungutan suara dapat dilaksanakan, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai dukungan internasional terhadap Dbeibah.
Italia memiliki kontingen militer kecil di Libya, kontrak minyak dan gas di negara tersebut, dan minat untuk membendung migrasi dari pantai Libya ke Italia.
REUTERS
Pilihan Editor: Lebanon Tangkap Warga Rusia, Diduga Mata-mata Israel
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.