TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Jersey, sebuah negara pulau di dekat Prancis, mengakui bahwa mereka melakukan penggeledahan tidak sah di tempat yang diduga terkait dengan miliarder Rusia Roman Abramovich. Mereka setuju untuk membayar ganti rugi dan meminta maaf, demikian isi dokumen hukum yang dilihat oleh Reuters.
Setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2020, Barat menjatuhkan sanksi paling berat dalam sejarah terhadap pejabat dan pengusaha Rusia, dengan membekukan aset bernilai ratusan miliar dolar.
Pada 12 April 2022, Pengadilan Jersey memberlakukan perintah pembekuan resmi atas aset senilai $7 miliar terkait dengan Abramovich, yang menghasilkan banyak uang dalam kekacauan tahun 1990-an, dan polisi melakukan penggeledahan di tempat-tempat yang dicurigai terkait dengan pemilki klub bola Chelsea itu.
Namun legalitas surat perintah penggeledahan, dikeluarkan pada hari yang sama, ditentang oleh pemilik tempat itu. Dua surat perintah dikeluarkan untuk penggeledahan tempat yang diduga terkait dengan kegiatan bisnis Abramovich.
Dalam perintah persetujuan tertanggal 9 November dan dikonfirmasi oleh dua sumber, polisi Jersey mengakui bahwa "surat perintah penggeledahan diperoleh secara tidak sah" dan setuju "bahwa surat perintah penggeledahan harus dibatalkan," menurut salinan dokumen yang dilihat oleh Reuters.
Polisi Jersey tidak menanggapi permintaan tertulis untuk memberikan komentar sampai Kamis, 10 November 2022.
Polisi juga setuju untuk membayar ganti rugi dan biaya, membenarkan bahwa semua salinan dokumen yang disita dalam penggeledahan telah dihancurkan dan bahwa polisi akan meminta maaf kepada Abramovich, kata dokumen itu.
"Tuan Abramovich selalu bertindak sesuai dengan hukum, kami senang bahwa Polisi Jersey telah mengakui sehubungan dengan penggeledahan yang melanggar hukum dan tidak berdasar ini," kata juru bicara Abramovich.
Tidak segera jelas apa dampak dari pengakuan penggeledahan yang melanggar hukum terhadap pembekuan aset senilai $7 miliar.
Abramovich, memegang kewarganegaraan ganda Rusia dan Israel, adalah salah satu pengusaha paling berpengaruh yang memperoleh kekayaan luar biasa setelah pecahnya Uni Soviet pada 1991. Forbes telah menempatkan kekayaan bersihnya di $8,7 miliar atau Rp136,5 triliun.
Sebagai pedagang komoditas yang berkembang pesat dalam kekacauan pasca-Soviet pada 1990-an di bawah Presiden Boris Yeltsin, Abramovich mengakuisisi saham di perusahaan minyak Sibneft, produsen aluminium Rusal, dan maskapai Aeroflot yang kemudian dijual.
Di bawah Putin, Abramovich menjabat sebagai gubernur wilayah terpencil Arktik Chukotka di Timur Jauh Rusia. Dia terlibat dalam negosiasi damai perang Ukraina-Rusia, namun tidak membuahkan hasil.
Inggris telah memberikan sanksi kepada Abramovich, mencapnya sebagai "oligarki pro-Kremlin."
"Abramovich dikaitkan dengan seseorang yang telah, dan sedang, terlibat dalam mengacaukan Ukraina dan merusak serta mengancam integritas teritorial, kedaulatan, dan kemerdekaan Ukraina, yaitu Presiden Vladimir Putin," menurut Daftar Sanksi Inggris.
Pendukung Abramovich, yang tidak pernah memberikan wawancara, mengatakan bahwa pernyataan seperti itu tidak terbukti dan gagal memahami iklim bisnis Rusia pasca-Soviet.
Reuters