TEMPO.CO, Paris - Prancis berkali-kali menyatakan tindakan tegas harus dilakukan terhadap Suriah. Namun ternyata negara itu tak berani menyerang sendirian. Perdana Menteri Prancis, Jean-Marc Ayrault, Senin, 2 September 2013, waktu setempat mengatakan Prancis ingin membentuk koalisi untuk mendukung serangan militer ke Suriah untuk menghukum rezim Bashar al-Assad.
"Ini bukan tugas Prancis bertindak sendiri. Presiden (Francois Hollande) terus bekerja membangun koalisi," kata Jean-Marc Ayrault seperti dilansir Reuters.
Jean-Marc Ayrault menyampaikan hal tersebut usai melaporkan hasil temuan intelijen Prancis terkait dugaan penggunaan senjata kimia oleh tentara Suriah di pinggiran kota Damaskus, 21 Agustus lalu. Dalam laporan setebal sembilan halaman tersebut diyakini jika tentara Assad sebagai pelaku serangan tersebut. "Kami percaya oposisi Suriah tidak memiliki kemampuan melakukan operasi sedemikian rapi dengan senjata kimia," bunyi laporan itu.
Berdasarkan laporan intelijen Prancis disebutkan korban jiwa sebanyak hanya 281 orang. Angka ini jauh berbeda jauh dibanding yang dilansir intelijen Amerika Serikat akhir pekan lalu yang menyebutkan korban tewas mencapai 1.429 orang termasuk 426 anak-anak.
Disebutkan juga serangan menggunakan pesawat dan altileri itu dilakukan antara pukul 3 hingga 4 pagi di Gouta Timur. Wilayah lain seperti Zamalka, Kafr Batna dan Ayn Tarma diserang pada pukul 6 pagi. "Tak ada yang bisa membantah kenyataan yang ada. Elemen yang kami dapatkan menunjukkan jika rezim yang bertanggung jawab atas serangan pada 21 Agustus," kata Jean-Marc Ayrault.
Laporan Prancis ini membuat berang Suriah. Assad mengingatkan Suriah akan membalas jika Prancis ikut serta menyerang negara itu. Dalam wawancara dengan harian Prancis, Le Figaro yang dikutip Al-Jazeera, Assad mengatakan, "Jika keputusan Prancis melawan Suriah maka akan ada dampak negatif bagi kepentingan Prancis.
REUTERS | AL-JAZEERA | RAJU FEBRIAN