TEMPO Interaktif, Den Haag -Sidang kilat pengadilan negeri Den Haag atas tuntutan Republik Maluku Selatan (RMS) berlangsung Selasa siang waktu Belanda. Tuntutan RMS ini ditujukan kepada pemerintah Belanda yang diminta menahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ketika dia mengadakan kunjungan ke Belanda pada Rabu (6/10) sampai Jum'at (8/10).
Presiden Yudhoyono pun memutuskan untuk membatalkan kunjungannya ke Belanda. Dalam konferensi pers di Halim Perdana Kusuma, Yudhoyono mengumumkan pembatalan ini. "Ada perkembangan situasi di Belanda yang mengharuskan saya ambil sikap dan keputusan demi kepentingan kita," ujarnya di Halim Perdana Kusuma, Jakarta, siang tadi.
Seorang juru bicara untuk Kantor Perdana Menteri Belanda mengaku bahwa pihak berwenang Indonesia belum memberikan jawaban yang jelas soal pembatalan kunjungan Yudhoyono. "Kami masih berhubungan," katanya.
Sebelumnya, menurut seorang juru bicara Pengadilan Belanda, para aktivis yang terkait dengan gerakan RMS meminta pengadilan Belanda suatu perintah agar Yudhoyono ditangkap karena tuduhan pelanggaran HAM di Indonesia.
Perempuan juru bicara Pengadilan itu menyatakan kekebalan hukum akan menghalangi penuntutan kepada presiden tapi kelompok Maluku itu juga meminta pengadilan mencabut larangan itu.
Juru bicara kepresidenan RI, Julian Pasha mengatakan tiga warga Belanda telah mengajukan permohonan kepada pengadilan, dan bahwa presiden prihatin penuntutan pengadilan bisa dipercepat bertepatan dengan lawatannya pekan ini.
Meskipun pemerintah Belanda telah memberikan jaminan Presiden Yudhoyono kekebalan diplomatik penuh, keputusan atas kasus itu selama lawatannya bisa “tidak menyenangkan untuk menghormati presiden dan bangsa ini”. “Ini sebenarnya keempat atau kelima kalinya presiden membatalkan kunjungan,” ujar Pasha.
Andre de Hoogh, seorang dosen senior Hukum Internasional pada Groningen University, bilang bahwa pengadilan Belanda tak dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Yudhoyono karena akan menimbulkan konflik dengan hukum internasional yang memberikan kekebalan hukum terhadap kepala-kepala negara.
“Ini suatu situasi yang tidak menguntungkan ketika seorang kepala negara membatalkan sebuah kunjungan, tentu saja. Hubungan politik bisa berlanjut dalam tekanan sedikit tetapi pada saat yang sama saya tak berfikir hal ini (menjadi) sangat besar,” ujar De Hoogh, tadi sore kepada Reuters. Dia tak berharap hubungan Belanda-Indonesia terganggu oleh keputusan (pembatalan) tersebut.
Reuters | Reza M | dwi arjanto