TEMPO.CO, Jakarta - Tanggal 15 September 2024, beberapa negara Arab melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Dimediasi oleh Presiden AS Donald Trump, menteri luar negeri Bahrain dan Uni Emirat Arab dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menandatangani Kesepakatan Abraham. Ketika itu, keempat orang tersebut - dan pemerintah mereka - membayangkan sebuah era yang terus berkembang antara Israel dan dunia Arab.
"Kita berada di sini sore ini untuk mengubah arah sejarah," kata Trump berseri-seri dari balkon yang menghadap ke South Lawn. "Setelah beberapa dekade perpecahan dan konflik, kita menandai fajar Timur Tengah yang baru."
Di bawah Kesepakatan Abraham, UEA menjadi negara Arab ketiga, setelah Mesir (1979) dan Yordania (1994), yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, mengakhiri periode tanpa hubungan semacam itu selama 25 tahun.
Satu bulan kemudian, Bahrain mengikuti langkah ini dan, tidak lama setelah itu pemerintah transisi Sudan mengumumkan bahwa mereka akan menormalkan hubungan - tetapi ide tersebut ditolak oleh beberapa partai politik Sudan dan tidak kunjung selesai.
Kemudian pada Desember, Maroko setuju untuk menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan penuh dengan Israel dan membangun penerbangan langsung antara kedua negara. Kesepakatan tersebut mematahkan konsensus selama bertahun-tahun di antara sebagian besar negara Arab yang telah mempertahankan pengakuan resmi terhadap Israel harus bergantung pada penghentian pendudukan wilayah Palestina dan pembentukan solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967.
Kontroversial dan Tidak Populer
Normalisasi hubungan dengan Israel sangat tidak populer di negara-negara Arab, seperti yang ditunjukkan dalam survei opini publik, dan dipandang oleh warga Palestina sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan nasional mereka.
Hingga Kesepakatan Abraham ditandatangani, posisi umum negara-negara Arab adalah bahwa tidak akan ada hubungan formal dengan Israel tanpa pendirian negara Palestina yang layak di wilayah yang saat ini diduduki oleh Tepi Barat.
Sementara Mesir dan Yordania menyetujui kesepakatan normalisasi dengan Israel pada abad ke-20, Liga Arab pada 2002 mengadopsi rencana yang dipimpin Saudi yang menjanjikan integrasi regional dengan Israel jika mereka menerima kemerdekaan Palestina.
Kesepakatan Abraham telah menjungkirbalikkan rencana ini dengan menunjukkan kepada Israel bahwa mereka tidak perlu berkompromi untuk mendapatkan pengakuan di dunia Arab dan Muslim.
Penulis Palestina Muhammad Shehada mengatakan dalam sebuah artikel opini yang diterbitkan oleh The New Arab pada Agustus 2021 bahwa perjanjian itu "berkaitan dengan keputusasaan rezim otokratis untuk mengamankan takhta mereka sendiri dan memperkuat kekuasaan mereka".