TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Korea Selatan pada Selasa, 27 Agustus 2024 menyerukan penyelidikan terhadap pornografi deepfake setelah media melaporkan adanya ruang obrolan Telegram yang membagikan gambar-gambar eksplisit anak di bawah umur di sekolah-sekolah dan universitas yang memicu kemarahan publik.
Dinukil dari Channel News Asia (CNA), linier dengan kecepatan internet dengan rata-rata tercepat di dunia, para aktivis mengatakan bahwa Korea Selatan juga memiliki epidemi kejahatan seks digital yang akut, termasuk pornografi balas dendam dan penggunaan kamera mata-mata, namun di sisi lain undang-undang yang ada tidak cukup memadai untuk mengadili para pelanggar.
Sebuah lembaga penyiaran Korea Selatan melaporkan minggu lalu bahwa mahasiswa di sebuah universitas menjalankan sebuah ruang obrolan Telegram ilegal di mana mereka berbagi materi pornografi yang dipalsukan dari rekan-rekan wanitanya, hal tersebut menjadi salah satu dari banyak kasus terkenal yang telah memicu kemarahan publik.
“Baru-baru ini, video-video deepfake yang menargetkan individu-individu yang tidak disebutkan dengan cepat menyebar melalui media sosial,” kata Presiden Yoon Suk-yeol dalam sebuah rapat kabinet dikutip dari CNA.
Dia juga mengungkapkan banyak anak di bawah umur yang menjadi korban dan pelaku sebagian besar adalah remaja. Yoon meminta pihak berwenang untuk menyelidiki dan menangani kejahatan seks digital ini secara menyeluruh untuk memberantasnya secara tuntas.
Para pelaku dilaporkan menggunakan platform media sosial seperti Instagram untuk menyimpan atau menangkap foto-foto korban, yang kemudian digunakan untuk membuat materi pornografi palsu.
“Masalah terbesar dari pelecehan seksual online adalah penghapusannya yang sangat sulit. Para korban sering kali menderita tanpa menyadarinya,” ujar Bae Bok-joo, seorang aktivis hak-hak perempuan dan mantan anggota Partai Keadilan yang masih kecil, kepada AFP.
“Saya tidak yakin pemerintah ini, yang menganggap diskriminasi gender struktural hanya sebagai 'perselisihan pribadi', dapat secara efektif mengatasi masalah ini,” imbuhnya.
Adapun Yoon memenangkan jabatan pada 2022 dengan janji kampanye untuk menghapuskan Kementerian Kesetaraan Gender, yang menurut para pendukungnya merupakan bagian dari feminisme radikal yang sudah ketinggalan zaman.
Sebelum terpilih sebagai presiden, Yoon juga mengklaim bahwa perempuan Korea Selatan tidak mengalami diskriminasi gender sistemik, meskipun ada bukti yang bertentangan dengan kesenjangan upah gender dan partisipasi tenaga kerja perempuan.
Menanggapi situasi yang terjadi di Korea Selatan saat ini seorang hak-hak perempuan dan mantan pemimpin sementara Partai Demokrat yang beroposisi Park Ji-hyun mengatakan pemerintah perlu mendeklarasikan keadaan darurat nasional atas pornografi deepfake.
“Materi pelecehan seksual deepfake dapat dibuat hanya dalam satu menit, dan siapa pun dapat masuk ke dalam chat room tanpa proses verifikasi,” tulisnya di platform media sosial X.
“Insiden semacam itu terjadi di sekolah menengah, sekolah menengah atas, dan universitas di seluruh negeri,” kata Park, menyebut ada ratusan ribu pelaku pelecehan semacam itu.
Dilansir dari CNA, Korea Selatan disebut telah berhasil menuntut para pelaku pelecehan online. Dalang dari jaringan pelecehan seks online terkenal kejam, mereka membujuk dan memeras setidaknya 74 wanita, termasuk remaja, untuk mengirimkan gambar seksual yang merendahkan diri mereka sendiri, dipenjara selama 42 tahun pada 2021.
Apa Itu Deepfake?
Konten manipulasi yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) alias deepfake belakangan semakin populer di dunia maya, tak terkecuali bagi pengguna forum bawah tanah. Semakin besarnya ketertarikan terhadap deepfake, umumnya berupa video atau foto oleh pengguna forum yang kebanyakan adalah hacker ini memicu kekhawatiran bahwa deepfake berpotensi digunakan sebagai modus baru pemerasan berbasis serangan ransomware.
Dilansir dari HopeHelps UGM, adapun deepfake, telah membuka dimensi baru dalam kejahatan cyber, khsusunya berkaitan dengan kekerasan seksual, pelanggaran privasi, serta hak asasi manusia. Teknologi ini bermula dari konsep Deep Learning yang dikembangkan oleh Geoffrey Hinton dan rekan-rekannya, teknologi ini memungkinkan manipulasi data dengan sangat realistis, termasuk video, audio, dan teks.
Deep Learning biasanya digunakan dalam industri untuk banyak hal, seperti pengenalan wajah atau facial recognition, pengenalan suara atau voice recognition, hingga self-driving car. Kemampuannya untuk mengenali wajah dan suara inilah yang akhirnya memunculkan permasalahan baru, yaitu deepfake.
Lebih jauh, teknologi deepfake tidak hanya terbatas pada manipulasi visual, tetapi juga mencakup pembuatan audio palsu dan teks buatan, yang semakin memperumit masalah. Dengan kemampuan untuk mengganti wajah, sinkronisasi bibir, dan bahkan menciptakan gerakan tubuh yang realistis, deepfake membuka peluang untuk penyalahgunaan identitas yang dapat merusak reputasi dan mengancam keamanan individu seperti apa yang menjadi kekhawatiran warga Korea Selatan saat ini.
Pilihan Editor: Korea Selatan Digegerkan Deepfake Pornografi Anak Sekolah di Grup Telegram