TEMPO.CO, Jakarta - Sepasang bayi kembar tewas dalam serangan udara Israel di Gaza. Mereka menjadi korban kebiadaban Israel saat sang ayah sedang mengurus akta kelahiran mereka. Jumlah korban tewas di Gaza hampir mencapai 40.000 jiwa.
Video yang diduga diambil di sebuah rumah sakit di kota Deir Al Balah menunjukkan Mohammad Al Qumsan dalam keadaan terkejut. Ia berlinang air mata sambil memegang akta kelahiran yang dilaminasi untuk Aysal dan Aser, bayi berusia empat hari.
Al Qumsan sedang mendaftarkan kelahiran bayi-bayinya ketika serangan udara menewaskan istri serta sepasang bayinya itu, dan nenek dari pihak ibu mereka. Seorang tetangga meneleponnya untuk memberi tahu dia tentang tragedi tersebut.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi," katanya. "Saya diberi tahu bahwa itu adalah peluru yang menghantam rumah."
Ibu si kembar adalah seorang apoteker bernama Joumana Arafa. Ia baru saja mengumumkan kelahiran bayi laki-laki dan perempuannya di Facebook. Kini suaminya akan mengurus surat kematian untuk keluarga mereka.
Keluarga tersebut telah meninggalkan rumah mereka di kota Gaza atas instruksi militer Israel. Mereka berlindung di rumah sementara di Deir Al Balah.
Pengeboman Israel di Gaza, yang dimulai setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober yang menewaskan 1.200 warga Israel dan mengakibatkan 250 sandera Israel disandera. Perang menyebabkan anak-anak menjadi korban tewas. Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan 115 bayi baru lahir telah tewas di wilayah tersebut sejak perang dimulai.
Kementerian Kesehatan Gaza mengumumkan pada hari Selasa bahwa jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 39.900 orang, dengan lebih dari 92.000 orang terluka.
Banyak yang selamat dari pengeboman itu tidak memiliki orang tua atau anggota keluarga. Semuanya berisiko terkena penyakit, pengobatan warga Palestina pun terbatas karena bantuan terus diblokir oleh Israel.
"Seorang anak yang mengidap penyakit di Jalur Gaza telah dijatuhi hukuman mati yang lambat karena ia tidak dapat menerima perawatan yang dibutuhkannya, dan ia tidak mungkin bertahan hidup cukup lama," kata petugas komunikasi Unicef, Salim Oweis, minggu lalu.
"Satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup adalah gencatan senjata. Anak-anak Gaza masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa hari ini akan tiba, dan Unicef juga memiliki harapan ini. Mencapai gencatan senjata masih mungkin, lebih penting sekarang daripada sebelumnya dan sudah sangat terlambat, dan semua orang harus melakukan segala daya mereka untuk memperjuangkannya," katanya.
Pembicaraan gencatan senjata yang direncanakan minggu ini kemungkinan tidak akan melibatkan Hamas. Israel diminta segera menghentikan aksi militer di Gaza.
THE NATIONAL | ANADOLU
Pilihan editor: Perdana Menteri Srettha Thavisin Dipecat Mahkamah Konstitusi Thailand atas Pelanggaran Etik