TEMPO.CO, Jakarta - Iran dan kelompok-kelompok bersenjata regional yang bersekutu dengan negara itu sedang bersiap-siap untuk merespons Israel atas pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh dan komandan Hizbullah Fuad Shukr pada pekan lalu.
Menggambarkan diri sebagai "poros perlawanan" karena menentang hegemoni Amerika Serikat-Israel di wilayah tersebut, Iran dan sekutunya akan berusaha untuk memulihkan daya tangkal terhadap Israel tanpa memprovokasi perang regional besar-besaran, kata para analis kepada Al Jazeera, seraya memperingatkan bahwa ruang untuk salah perhitungan sangat tipis.
"Salah satu argumen di Iran saat ini adalah bahwa mereka perlu menunjukkan respons yang tegas dan menunjukkan kesiapan mereka untuk berperang untuk meredakan ketegangan," kata Hamidreza Azizi, seorang ahli tentang Iran dan peneliti non-residen di lembaga pemikir Middle East Council on Global Affairs di Doha, Qatar.
"[Para pemimpin Iran berpikir] bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, maka Israel tidak akan berhenti dan setelah beberapa waktu mungkin akan ada pejabat-pejabat Iran yang menjadi sasaran Israel secara terbuka di negara itu," tambahnya.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan bahwa sudah menjadi "kewajiban" negaranya untuk membalaskan dendam Haniyeh, setelah dia terbunuh di ibu kota Iran, Teheran, ketika sedang menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian pada 30 Juli lalu.
Israel belum mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Iran mengatakan Israel berada di balik pembunuhan tersebut. Beberapa jam sebelum kematian Haniyeh, Israel mengaku bertanggung jawab atas penembakan sebuah rudal ke sebuah bangunan tempat tinggal di Dahiya, sebuah distrik yang ramai di ibu kota Lebanon, Beirut.
Serangan tersebut menewaskan Shukr - bersama dengan seorang wanita dan dua orang anak - sebagai tanggapan atas proyektil yang menewaskan 12 anak-anak Druze di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon membantah bertanggung jawab atas insiden tersebut. Hal ini ditegaskan kembali oleh pemimpin kelompok tersebut, Hassan Nasrallah, yang mengatakan bahwa sebuah respons "tidak dapat dihindari" menyusul serangan di Beirut.
"Saya pikir pandangan strategis secara keseluruhan tetap sama dalam arti bahwa Hizbullah tidak ingin meningkatkannya menjadi perang besar," kata Nicholas Blanford, seorang ahli Hizbullah di Atlantic Council, sebuah lembaga pemikir di Washington, DC.
"Ini bisa menjadi operasi yang terhuyung-huyung dengan Iran yang memimpin dan kemudian diikuti oleh [serangan dari] kelompok-kelompok bersenjata lainnya," tambahnya.
"Saya pikir mereka akan mengincar target militer yang terkenal."