TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Druze menjadi sasaran roket yang menyebabkan 12 orang anak dan remaja tewas pada akhir pekan lalu. Anak-anak ini tewas saat sedang bermain bola. Israel dan Hizbullah saling menyalahkan atas insiden tersebut.
Ribuan pelayat berkumpul di kota yang mayoritas penduduknya beragama Druze untuk memakamkan anak-anak tersebut pada hari Minggu dan Senin. Para lelaki berpakaian hitam dan memakai topi putih dengan hiasan merah di atasnya mengusung peti jenazah yang dilapisi kain putih, para remaja putra secara simbolis mengusung bola sepak di atas kepala mereka. Sejumlah perempuan menangis sembari memeluk anak-anak. "Sudah cukup. Kami berharap perang akan berakhir. Sudah cukup tragedi dan pertumpahan darah ini," kata seorang perempuan.
Druze Mendiami Dataran Tinggi Golan
Populasi Druze mendiami Dataran Tinggi Golan. Sejak 1967, Israel merebut dua pertiga wilayah Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Wilayah itu kemudian dianeksasi secara resmi pada tahun 1981 oleh Israel meski tak diakui oleh dunia internasional.
Sejumlah besar penduduk Druze di Dataran Tinggi Golan telah memperoleh kewarganegaraan Israel sejak 2011, karena kekhawatiran terhadap Perang Saudara Suriah. Selain di Golan, sekitar 130.000 Druze Israel tinggal di Karmel dan Galilea di utara Israel.
Meskipun berstatus demikian, penduduk Dataran Tinggi Golan telah menjadi sasaran kebijakan diskriminatif seperti alokasi tanah dan air, karena meningkatnya pemukiman Israel yang menghalangi akses ke sumber air. Sekitar 25.000 warga Yahudi Israel tinggal di Dataran Tinggi Golan yang diduduki saat ini yang tersebar di 30 pemukiman.
Selain itu, Undang-Undang Dasar Negara-Bangsa Yahudi tahun 2018 yang diajukan oleh parlemen, yang secara resmi menetapkan Israel sebagai "rumah bersejarah bagi orang-orang Yahudi" dengan "Yerusalem bersatu" sebagai ibu kotanya, juga memicu kekhawatiran akan adanya diskriminasi lebih lanjut di kalangan Druze.