Menurut Wilson, meskipun beberapa pihak menafsirkan pernyataan Prabowo sebagai pembelaan terhadap sistem pemilu di Indonesia, namun sejak lama menteri pertahanan ini menolak pemilu langsung karena disebut produk impor.
"Dengan latar belakang kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Joko Widodo, situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi elektoral akan berjalan di bawah kepemimpinan Prabowo," kata Ian Wilson.
Ia menulis bahwa Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, menolak apa yang diklaim sebagai arah reformasi liberal-demokratis setelah 1998. Gerindra menganjurkan Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli.
"Hal ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999 hingga 2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun)," ujar Wilson.
Wilson melanjutkan dalam artikelnya, bahwa Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai pada 2014 yang mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan situasi sebelum 2005. Kepala daerah termasuk gubernur diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, termasuk intervensi presiden saat itu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, akhirnya RUU itu dibatalkan. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya kudeta legislatif tersebut.
REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA
Pilihan editor: Partai Sekutu Imran Khan Tak Penuhi Syarat Masuk Parlemen Pakistan