TEMPO.CO, Jakarta - Israel melancarkan serangan udara ke Rafah yang padat penduduk pada Sabtu, 10 Februari 2024. Serangan dilakukan setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memerintahkan pasukannya bersiap untuk beroperasi di kota perbatasan selatan yang telah menjadi tempat pertahanan terakhir bagi pengungsi Palestina.
Serangan yang direncanakan Netanyahu terhadap Rafah, tempat sekitar 1,3 juta orang mengungsi, telah menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia dan Washington. Warga Palestina menyatakan mereka tidak punya tempat lagi untuk mundur.
Para saksi mata melaporkan adanya serangan baru di Rafah pada Sabtu pagi, setelah militer Israel mengintensifkan serangan udara. Kekhawatiran meningkat kalangan warga Palestina akan adanya invasi darat.
“Kami tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Mohammad al-Jarrah, seorang warga Palestina yang mengungsi dari utara ke Rafah.
Kota ini merupakan pusat populasi besar terakhir di Jalur Gaza yang belum dimasuki oleh pasukan Israel, namun juga merupakan pintu masuk utama pasokan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Netanyahu mengatakan kepada para pejabat militer pada Jumat untuk mengevakuasi penduduk dan menghancurkan batalyon militan Hamas yang bersembunyi di Rafah. Departemen Luar Negeri AS mengatakan mereka tidak mendukung serangan darat di Rafah, dan memperingatkan bahwa jika tidak direncanakan dengan baik, operasi semacam itu berisiko menimbulkan “bencana”.
Amerika Serikat adalah pendukung internasional utama Israel, yang memberikan bantuan militer miliaran dolar.
Namun Presiden Joe Biden mengeluarkan kritik pedas terhadap Netanyahu dan Israel. Biden menggambarkan pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai tindakan yang terlalu berlebihan. “Saya berpandangan, seperti yang Anda tahu, bahwa tindakan respons di Gaza, di Jalur Gaza, sudah berlebihan,” kata Biden. “Ada banyak orang tak berdosa yang kelaparan dalam kesulitan dan sekarat, hal ini harus dihentikan.”
Kepala UNRWA, Badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi pengungsi Palestina, Philippe Lazzarani mengatakan kecemasan dan kepanikan meningkat di Rafah. “Orang-orang tidak tahu ke mana harus pergi.”
Para dokter dan pekerja bantuan berjuang untuk memberikan pertolongan dasar kepada warga Palestina yang berlindung di sekitar Rafah. Banyak dari mereka yang terjebak di pagar perbatasan dengan Mesir dan tinggal di tenda-tenda darurat.
Pasukan Israel telah bergerak ke arah selatan menuju kota tersebut setelah pertama kali menyerbu bagian utara Gaza sebagai respons terhadap amukan orang-orang bersenjata Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober. PBB mengatakan warga sipil Palestina di Rafah memerlukan perlindungan, namun tidak boleh ada perpindahan massal secara paksa, yang dilarang oleh hukum internasional.
“Perang tidak boleh dibiarkan di kamp pengungsi yang sangat besar,” kata Jan Egeland, sekretaris jenderal Dewan Pengungsi Norwegia. Ia memperingatkan akan terjadinya “pertumpahan darah” jika pasukan Israel pindah ke Rafah.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan Netanyahu ingin mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka. “Serangan itu mengancam keamanan dan perdamaian di kawasan dan dunia. Tindakan ini melanggar semua garis merah,” katanya.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan setidaknya 27.947 warga Palestina dipastikan tewas dalam konflik tersebut dan 67.459 orang terluka. Lebih banyak lagi yang mungkin terkubur di bawah reruntuhan. Sementara itu militan Hamas membunuh sekitar 1.200 orang dan menyandera 253 orang dalam serangan 7 Oktober di Israel selatan.
AL ARABIYA | REUTERS
Pilihan editor: Antony Blinken: Serangan 7 Oktober Tak Bisa Jadi Pembenaran untuk Rendahkan Orang Lain