TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat hubungan internasional, Hoppi Yoon, mengatakan proses unifikasi Korea Utara dan Korea Selatan membutuhkan waktu.
Ini karena kedua negara serumpun ini terpisahkan selama 70 tahun oleh konflik politik, ideologi hingga peperangan.
Baca: Negara Besar Sambut Deklarasi Perdamaian Korea Utara dan Selatan
“Jadi saya tidak bisa pastikan bahwa proses unifikasi ini bakal bisa berlangsung dalam lima tahun ke depan,” kata Hoppi kepada Tempo, Sabtu, 29 April 2018.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, berjalan bersama pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, istri Kim Ri Sol Ju dan istri Moon Kim Jung-sook saat menghadiri upacara perpisahan KTT Antar-Korea di desa genting Panmunjom di dalam zona demiliterisasi yang memisahkan kedua Korea, Korea Selatan, 27 April 2018. Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters
Hoppi, yang juga pengajar di President University, Cikarang, Jawa Barat, mengatakan ada perbedaan sistem politik dan ekonomi antara kedua negara. “Jadi sulit untuk unifikasi dengan cepat,” kata dia.
Baca: Orang Tua Otto Warmbier Menggugat Korea Utara
Hoppi menambahkan masalah unifikasi Semenanjung Korea menjadi lebih kompleks karena melibatkan tidak hanya faktor antar-Korea tapi juga faktor internasional.
Hoppi mengatakan ini menanggapi penandantanganan Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Unifikasi Semenanjung Korea” pada Jumat, 27 April 2018.
Penandatanganan dilakukan oleh Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, dan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un.
Kedua pemimpin bersepakat berdamai, mengakhiri Perang Korea dan bertekad melakukan kerja sama ekonomi dan budaya antar-negara. Moon dan Kim juga bersepakat bakal saling mengunjungi dalam waktu dekat ke istana masing-masing.
Secara terpisah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan proses unifikasi dua Korea harus memperhatikan konstitusi masing-masing negara.
Associate Professor, Dr Hoppi Yoon, Departmen Hubungan Internasional, President University, Indonesia. Istimewa
Rezasyah mencontohkan proses reunifikasi Jerman Timur dan Jerman Barat. “Dari pengalaman reunifikasi Jerman, yang prosesnya bertahap, berkeadilan, dan saling bersimpati, maka Korea Utara dan Korea Selatan dapat bergerak menuju sebuah ideologi baru, yang pelan-pelan menjadi 'demokrasi terpimpin',” kata Rezasyah kepada Tempo.
Proses unifikasi Korea Utara yang berideologi demokrasi totaliter dan Korea Selatan yang menganut paham demokrasi liberal harus melibatkan masyarakat. Misalnya dengan menggelar referendum. “Ini dilakukan ketika rakyat Korea Utara telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan,” kata Rezasyah.