TEMPO.CO, Yangon -- Sikap diam Association of Southeast Asian Nations terhadap pelanggaran hak asasi manusia atas etnis Rohingya di Myanmar dinilai menguntungkan Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar saat ini.
"Konferensi Tingkat Tinggi Asean tidak dirancang untuk benar-benar membuat kebijakan merespon isu besar hak asasi manusia yang berdampak di seluruh wilayah ini," kata David Mathieson, mantan peneliti hak asasi manusia, yang saat ini menjadi analis independen di Myanmar, kepada Time, Senin, 13 Nopember 2017.
Baca: Pengungsi Rohingya Ragu Keselamatannya di Myanmar
"Sekarang ini, pemerintahan Suu Kyi diuntungkan dari kultur diamnya Asean." Asean memiliki anggota sepuluh negara.
Pengamat politik di Yangon, Khin Zaw Win, juga sependapat dengan mengatakan pemerintahan junta militer Myanmar dulu dan pemerintahan Suu Kyi sat ini diuntungkan dengan sikap diam Asean.
Baca: Aktivis HAM AS: IniTestimoni Sona Rohingya Korban Militer Myanmar
"Blok ini seharusnya bisa mengambil sikap yang lebih tegas terhadap isu Rohingya," kata Khin. "Jadi ini tergantung sepenuhnya kepada Asean jika ingin terlihat kredibel."
Uniknya, Suu Kyi justru mengecam sikap diam Asean ini terhadap junta militer Myanmar sekitar 20 tahun lalu. Menurut catatan Time, saat itu Suu Kyi sedang berjuang melawan penindasan rezim otoriter militer Myanmar.
Dalam sebuah tulisan editorial pada 1999, Suu Kyi mengecam sikap diam Asean dengan mengatakan,"Kebijakan tidak intervensi ini hanyalah alasan untuk tidak menolong."
"Pada hari ini dan abad ini," kata dia melanjutkan dalam editorial yang muncul di harian The Nation di Thailand,"Anda tidak bisa menghindar dari masalah yang terjadi di negara lain."
Menurut media Time, saat Suu Kyi hadir pada KTT Asean di Manila, yang dimulai sejak Senin, 13 Nopmeber 2017, dia dan pemerintahannya diuntungkan dengan sikap diam Asean ini.
Padahal pemerintahannya terlibat dalam penyerangan terhadap etnis Rohingya, yang mayoritas beragama Islam, dengan menggunakan taktik yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pembersihan etnis untuk mengusir warga Rohingya keluar dari negara, yang mayoritas beragama Buddha.
Pada pekan lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meminta pemerintah Myanmar untuk mengakhiri tindak kekerasan militer berlebihan dan kekerasan antarkomunitas, yang telah menghancurkan komunitas Rohingya.
Pemerintah Myanmar dikabarkan menyayangkan pernyataan DK PBB itu. Dalam pernyataan yang terarah kepada Cina, pemerintah Myanmar malah memuji anggota DK PBB yang, menurut Myanmar, menjaga prinsip tidak intevensi terhadap urusan internal negara berdaulat lain."
Dalam tulisannya di harian The Nation, Time melanjutkan, Suu Kyi mengatakan ketika Asean menerapkan prinsip non-intervensi, maka organisasi ini melakukannya "tidak dengan nurani yang jernih."
"Mereka takut ada beberapa aspek dari negara mereka yang bisa menimbulkan kritik," kata Suu Kyi. "Posisi kami adalah jika mereka punya masalah yang layak dikritik, maka biarkan kritik muncul. Jika tidak ada, maka mereka tidak perlu merasa takut terhadap apapun." Kali ini krisis kemanusiaan Rohingya membutuhkan intervensi Asean.
TIME