TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis pembela Hak Asasi Manusia Senior Legislative Counsel dari American Civil Liberties Union, Joanne Lin, mengumpulkan sejumlah testimoni dari warga minoritas Rohingya korban serangan militer Myanmar.
Serangan militer ini dilakukan secara langsung ke rumah warga desa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017.
Baca: Paus Desak Myanmar Hentikan Kekerasan terhadap Rohingya
Lin menuliskan pandangan tentang ini dalam artikel di media USA Today berjudul "Halting Myanmar ethnic cleansing: 5 critical steps". "Kita sekarang tahu siapa pelakunya dan bagaimana menghentikannya," kata Lin, Ahad, 22 Oktober 2017, waktu setempat.
Baca: Bantuan Indonesia untuk Rohingya Tiba di Bangladesh
Berikut kisah penderitaan warga Rohingya yang berhasil diungkap Lin:
Sona Mia dan keluarganya tidak punya pilihan lain ketika tentara Myanmar membakar desanya pada akhir Agustus. Pria berusia 77 tahun ini berada di rumah di desa Koe Tan Kauk ketika penembakan bermula.
Sebagian tentara secara membabi buta membalas serangan melawan orang Rohingya, yang secara timpang sudah tersakiti karena serangan tentara selama ini. Keluarga ini harus melarikan diri dari bahaya akibat kerusuhan namun Rayna, anak gadisnya yang menyandang disabilitas, harus ditinggal sementara. Rayna digendong anak laki-laki Mia, dan ditempatkan di rumah kosong tak berpenghuni dan berjanji akan kembali lagi ketika situasi sudah membaik.
“Setelah sampai di bukit, kami menemukan rumah di mana kami meninggalkannya,” ujar Mia pada peneliti Amnesty International di perbatasan Bangladesh. Mereka menyaksikan para tentara secara sistemik membakar semua rumah di desa. “Kami juga melihat rumah yang ditinggali Rayna dibakar.”
Tumpukan puing-puing rumah warga Rohingya yang telah terbakar di sebuah desa di Maungdaw di utara negara bagian Rakhine di Myanmar, 12 September 2017. Militer Myanmar membakar desa-desa etnis Rohingya di Rakhine, setelah gerilyawan Rohingya menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas pada 25 Agustus 2017. REUTERS/Stringer
Setelah militer meninggalkan desa, anak-anak Mia turun ke bawah dan menemukan mayat Rayna terbakar di reruntuhan rumah yang hangus.
Keluarga Mia pergi bersama lebih dari 530.000 warga minoritas Rohingya, yang melarikan diri dari tentara Myanmar, ke Myanmar. Pasukan Myanmar ini melakukan kampanye pembumihangusan hanya dalam beberapa pekan. Jumlah itu dibandingkan dengan keseluruhan populasi kota Tucson atau Atlanta yang bekerja demi kehidupan mereka.
Selain pembunuhan massal dan penghancuran desa, militer juga secara sistematis memperkosa dan menyiksa mereka yang berusaha kabur. Seorang wanita bercerita bagaimana ia melihat banyak teman-teman sedesanya dibunuh, diperkosa tentara dan ditinggalkan di gubug yang terbakar hingga mati. Termasuk tiga anaknya yang dipukuli hingga mati.
Dalam analisa kami yang mendalam mengenai krisis Rohingya, Amnesty International telah mengidentifikasi untuk pertama kalinya, unit spesifik militer bertanggung jawab atas perlakuan kekerasan ini, yang secara jelas menunjukkan kekerasan itu bertentangan dengan kemanusiaan.
Belasan saksi mata warga Rohingya, yang menjadi korban tindak kekerasan militer Myanmar, menunjuk keterlibatan sejumlah unit militer dan polisi yaitu Komando Barat Angkatan Darat, Divisi Infantry Ringan 33 dan Polisi Penjaga Perbatasan sebagai pelakunya penyerangan desa dan warga desa etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine.
USA TODAY | AL HANAAN