TEMPO.CO, Beirut - Jeritan keras terdengar dari puluhan anak Suriah dan Palestina yang berada di luar pusat komunitas kamp pengungsi Shatila di Libanon. Tenang, mereka tidak terluka. Jeritan itu justru menjadi terapi stres bagi anak-anak korban konflik bersenjata dalam kelas perdamaian.
"Kami tidak saling memukul. Kami tidak mengatakan hal-hal buruk tentang satu sama lain. Anak laki-laki tidak memukul anak perempuan,” kata Hala, bocah 11 tahun kepada Thomson Reuters Foundation, Senin, 2 Januari 2017.
Hala, yang menolak menyebutkan nama keluarganya, melarikan diri dari Deir el Zor di Suriah dan telah tinggal di Libanon kurang dari dua tahun terakhir. Ia menyebutkan nama salah satu kegiatan favoritnya, yakni ketika setiap anak menceritakan situasi yang membuat mereka resah. Sebagai gantinya, anak lain akan membantu mencarikan solusi.
Dikelola oleh Basmeh dan Zeitooneh, sebuah lembaga amal setempat, mereka membentuk sebuah kelas yang memberikan kesempatan anak-anak untuk menyuarakan opini mereka, meredakan ketegangan karena perang dan terpaksa mengungsi, serta menemukan kembali impian mereka.
Lembaga amal ini berharap, jika anak-anak disibukkan dengan kegiatan seperti menggambar dan mendongeng, mereka dapat dijauhkan dari kelompok militan yang berusaha merekrut anak-anak dan remaja pengungsi. "Anak-anak ini telah mengalami banyak hal. Mereka trauma karena berbagai masalah,” ujar Elio Gharios, ketua program kelas perdamaian. “Mereka bermasalah, sedikit introvert, dan sering agresif.”
Libanon adalah rumah untuk satu juta pengungsi Suriah, separuhnya anak-anak, sejak perang saudara pecah hampir enam tahun silam. Negara itu juga menjadi tuan rumah bagi pengungsi Palestina yang terpaksa lari pada 1949.
Libanon membangun kamp Shatila setelah Israel berdiri pada 1948. Shatila, yang saat ini mencakup wilayah 1 kilometer persegi, menurut manajer Basma dan Zeitooneh, dihuni oleh 42 ribu pengungsi asal Palestina dan pendatang baru dari Suriah.
Gharios, pria 24 tahun lulusan psikologi, menyebut anak-anak berusia 7-14 tahun menghadiri kelas ini. Setiap sesi terdiri atas 20 anak. Setiap kelas akan memulai hari dengan memutuskan bagaimana mereka dapat memperlakukan satu sama lain.
"Mencari solusi damai untuk menyelesaikan masalah sangat penting bagi mereka. Mereka akan belajar bahwa kekerasan bukan solusi,” tutur Gharios. “Mereka terlalu kecil ketika menyaksikan seseorang menodongkan senjata ke kepala orang lain.”
Caroline Brooks, manajer International Alert untuk Suriah, menyebut kelas perdamaian yang telah berjalan selama setahun terakhir itu terbukti mampu mencegah anak-anak terlibat dengan kelompok ekstremis. Seorang remaja 17 tahun melapor kepada guru di kelasnya bahwa perekrut kelompok Negara Islam menghubunginya melalui Facebook.
REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI
Baca:
Situasi Terbaru di Suriah, Simak 15 Hal Penting dari PPI
ISIS Buat Aplikasi Android Huroof untuk Doktrin Anak-anak