TEMPO.CO, Kuala Lumpur - Proses buat mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim untuk membebaskan diri dari hukuman penjara 5 tahun karena melakukan sodomi terhadap seorang penasihatnya berakhir Selasa, 10 Februari 2015, dengan keputusan Mahkamah Persekutuan (Mahkamah Federal) menolak bandingnya.
Kini, satu-satunya kesempatan buatnya agar bisa bebas adalah diberi pengampunan dari pihak kerajaan. Dekan Fakultas Hukum, Pemerintahan, dan Studi Internasional Universiti Utara Malaysia (UUM) Prof Dr Ahmad Marthada Mohamed mengatakan keputusan ditentukan Mahkamah Persekutuan karena Mahkamah merupakan lembaga peradilan tertinggi dalam sistem hukum di Malaysia. Semua keputusannya final dan tak bisa dibanding lagi.
Baca Juga:
“Anwar hanya bisa dibebaskan jika dia diberi suatu pengampunan oleh Yang di-Pertuan Agong. Hal ini sesuai Pasal 42 Konstitusi Federal yang menyebutkan bahwa Yang di-Pertuan Agong memiliki kekuasaan memberikan ampunan,” ujar Ahmad Marthada kepada kantor berita Bernama, Selasa, 10 Februari 2015.
Mahkamah Agung Malaysia menolak banding final Anwar, pemimpin aliansi dari tiga partai oposisi, terhadap dakwaan dan hukuman penjara atas kasusnya melakukan sodomi terhadap Mohamad Saiful di Unit 11-5-1 Kondominium Desa Damansara, Jalan Setiakasih, Kuala Lumpur, pada 2009.
Ketua Hakim Agung Tun Arifin Zakaria, yang memimpin panel lima hakim, mengirim keputusan final dan menghukum Anwar, 67 tahun, lima tahun penjara sesuai vonis pengadilan banding pada 7 Maret 2014.
Baca Juga:
Ahmad Marthada menjelaskan, dalam pemberian maaf, Yang di-Pertuan Agong akan bertindak sesuai saran Badan Pengampunan yang terdiri atas Menteri Wilayah Federal, Jaksa Agung, dan tidak lebih dari tiga anggota lainnya. “Pengampunan untuk seorang narapidana agar bebas itu biasanya diberikan oleh Yang di-Pertuan Agong pada hari ulang tahunnya dengan usulan dari pemerintah.”
Dosen geostrategis Universiti Teknologi Malaysia (UTM), Dr Azmi Hassan, menyebutkan keputusan Mahkamah Persekutuan adalah manifestasi dari kesetaraan semua warga di mata hukum. “Di bawah hukum, semua orang setara terlepas dari status ataupun posisinya,” ujarnya di Kuala Lumpur, Selasa, 10 Februari 2015.
MALAY MAIL ONLINE | DWI ARJANTO