TEMPO.CO , Jakarta -Presiden Amerika Serikat Barack Obama Sabtu 4 Februari 2012 menyerukan kepada Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam kekerasan militer Suriah yang dia sebut sebagai "kebrutalan tanpa henti" oleh pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.
Permintaan itu disampaikan setelah para aktivis melaporkan setidaknya 200 orang dibunuh oleh pasukan militer pemerintah di Kota Homs. Dalam pernyataan tertulisnya Obama menyatakan serangan militer itu juga sebagai unspeakable assault dan mendesak Assad lengser dari kekuasaannya.
Para aktivis Suriah menyatakan serangan pasukan pemerintah telah membunuh lebih dari 200 orang di kota Homs. Mereka menyebut kejadian ini sebagai hari paling berdarah selama 11 bulan dalam penolakan terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Mereka juga mendesak PBB mengeluarkan resolusi bagi Bashar supaya lengser.
Duta Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Susan Rice mengatakan bahwa proposal perubahan draf resolusi Dewan Kemanan PBB dari Rusia yang menyertakan Liga Arab tidak bisa diterima. "Mereka tida bisa diterima," kata Rice kepada wartawan. Mereka menginginkan voting terhadap draf resolusi itu pada Sabtu ini.
Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe menyebut pembunuhan di Homs sebagai "pembantaian" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan". Ia menkritik Moskow sebagai salah satu negara yang akan memengang "tanggung jawab berat dalam sejarah".
Moskow merupakan salah satu negara yang menolak memberikan dukungan terhadap resolusi Dewan Kemanan terhadap Suriyah. Akibatnya Dewan Kemanan batal batal membuat resolusi. Moskow masih beranggapan perlunya penyesuaian terhadap rancangan resolusi guna menghindari "keberpihakan dalam perang saudara" di Suriah.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan adanya kemungkinan membuat konsensus pada resolusi Dewan Kemananan terhadap Suriah, apabila anggota Dewan mengambil "pendekatan konstruktif". Setelah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, Lavrov akan menuju Suriah dalam tiga hari mendatang untuk bertemu Assad.
REUTERS | WANTO