Turnamen buatan ini tak diikuti Brasil, yang sejatinya tidak pernah absen sejak putaran final Piala Dunia digelar di Uruguay, delapan dekade lalu. Para peserta Piala Dunia di Gaza ini adalah Palestina, Inggris, Turki, Amerika Serikat, Italia, Rusia, Afrika Selatan, Irlandia, Mesir, Aljazair, Spanyol, Serbia, Jerman, Belanda, Prancis, dan Yordania.
Meski pesta ini sekadar rekaan, kegembiraan terasa menyeruak saat pembukaan di stadion Kota Gaza, satu-satunya tempat yang dipakai. Diawali dengan musik dan tarian Arab, lagu kebangsaan Italia sebagai juara bertahan, dan pembacaan ayat-ayat Al-Quran.
Sekitar 5.000 penonton dari pelbagai usia hadir di laga pembuka Palestina melawan Italia. Seperti dapat diperkirakan, Palestina takluk meski dengan angka tipis 0-1. Itu pun melalui tendangan penalti.
Para pemain dari 16 kesebelasan itu berasal dari Liga Sepak Bola Gaza dan para pekerja asing di sana. “Kami ingin menunjukkan semangat kerja sama internasional di Gaza,” kata Balma Yahia, staf Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermain untuk tim Afrika Selatan.
Yang tampak aneh dan memang sangat jarang terjadi di Gaza, bendera Amerika berkibar saat parade. Seperti dalam Piala Dunia betulan, para pendukung bersorak-sorai menyokong kesebelasan kesayangan mereka “Saya menyukai cara Italia bermain, mereka tampak menarik,” ujar Samar Saleh, perempuan 20-an tahun yang punya hobi bola.
Meski didera blokade Israel selama tiga tahun terakhir, sepak bola tetap hidup di Palestina, termasuk Gaza. Badan sepak bola dunia FIFA pada 2006 menempatkan tim nasional Palestina di posisi ke-115. Hobi sepak bola juga menjalar ke para pemimpin Hamas, termasuk mantan perdana menteri Ismail Haniyah dan Wakil Ketua Biro Politik di Damaskus, Suriah, Musa Abu Marzuq. Bahkan Haniyah pernah menjadi pemain sepak bola.
Saat digelar partai Amerika melawan Serbia, teriakan Amerika terdengar dari tribun stadion. Padahal negara itu bersama Israel selalu menjadi sasaran cacian warga Gaza. Dalam tiap unjuk rasa, bendera kedua negara itu selalu dibakar.
Namun kali ini lain. Hisyam Rida, 26 tahun, yang rajin berdemo anti-Amerika dan Israel, malah mendukung Negeri Abang Sam. Tanpa sungkan ia mengibarkan bendera kecil Amerika di tangannya. “Saya tidak punya masalah dengan bendera ini karena sepak bola dimainkan antar-orang, bukan antar-pemerintah,” katanya.
Piala Dunia itu berlangsung pada 3-15 Mei. Di partai puncak, Prancis bertemu dengan Yordania, disaksikan 20 ribu pasang mata. Tim dari Negeri Mode menang dan berhak atas trofi yang diserahkan Ismail Haniyah. Piala itu terbuat dari besi rongsokan sisa gempuran Israel awal tahun lalu, yang menewaskan lebih dari 1.400 orang, setengahnya anak-anak dan wanita.
Meski pestanya imitasi, setidaknya warga Gaza telah merasakan atmosfer Piala Dunia. Pesta bakal terus berlanjut karena kejuaraan sesungguhnya baru dibuka. Kalau mau percaya hasil di Gaza, Prancis mungkin saja menjadi juara dunia kedua kalinya di Afrika Selatan.
BBC | Faisal Assegaf