TEMPO Interaktif, Jakarta - Penanganan bencana pasca-tsunami di Aceh jauh lebih bagus daripada di Haiti, seorang wartawan BBC yang meliput dua kejadian ini membandingkan.
Amerika Serikat hanya berkonsentrasi pada bantuan makanan siap saji sedang di Aceh, bantuan lengkap mulai dari makanan sampai sabun. Selain itu, Aceh dibantu dengan para korban yang tidak melakukan penjarahan rumah-rumah atau toko-toko seperti di Haiti.
Menurut wartawan BBC itu, David Loyn, ia mengatakan bahwa jumlah korban di Port-au-Prince maupun Banda Aceh pada 2004 hampir sama. Yang sedikit berbeda adalah penyebab tewasnya. Haiti tewas akibat tertimbun bangunan runtuh, sedang di Aceh akibat hempasan tsunami.
Seperti di Haiti, menurut Loyn, bantuan asing mulai mengalir ke Aceh. Tapi bantuan ini berbeda polanya.
Di Aceh, batalion tentara zeni Australia datang ke daratan membawa truk besar, traktor, dan peralatan penjernih air. Bantuan tenda, makanan, dan peralatan sanitasi seperti sabun dengan cepat merapat ke Banda Aceh. Sejumlah kapal segera menuju Banda Aceh dan menyebarkan bantuan ke wilayah pantai lain dengan cepat.
Sebaliknya di Haiti, bantuan dipusatkan pada makanan siap santap dan minuman dalam botol. Bantuan ini disimpan di kapal Amerika Serikat yang berada beberapa kilometer dari pantai dan dikirim dengan helikopter.
Bantuan ini memang tampak keren di layar televisi. Tampak orang Haiti bersemangat menerima bantuan makanan ini dari helikopter tentara Amerika.
Tapi bantuan ini saja tidak cukup bagus untuk menolong warga Haiti. Cukup dengan melihat Port-au-Prince dan Banda Aceh beberapa hari setelah bencana sudah cukup melihat perbedaan ini.
Di Banda Aceh, wilayah terbuka di kota segera dipasang tenda atau tempat bersih-bersih lain. Sabun dan pakaian ganti segera tersedia. Di Port-au-Prince, sangat sedikit tenda-tenda bagi para korban di jalanan atau tempat terbuka hingga hari ini.
Lambatnya bantuan sampai ke Haiti, menurut Loyn, salah satunya karena adanya penjelasan kepada tim penolong asing. Penjelasan itu menyatakan bahwa Haiti masih dalam suasana perang--tidak berbeda dengan Bagdad atau Kabul. Akibatnya, para relawan hanya berani bergerak di markas PBB yang dijaga ketat.
Yang lain adalah persoalan tentara Amerika yang menguasai bandara Haiti. Seorang pejabat lembaga penolong terkenal berusaha meminta izin pendaratan pesawat dari Eropa yang membawa bahan bantuan. Tapi ia diberi tahu bahwa jadwal pendaratan ke bandara sudah penuh sampai 9 Februari.
Bandara penuh bukan oleh pesawat yang membawa bantuan, tapi oleh pesawat yang membawa pasukan dan peralatan tempur Amerika.
Pasukan didatangkan karena dicemaskan kesulitan akibat gempa ini bisa mengakibatkan kerusuhan. Menurut Loyn, jika bantuan tidak juga datang, memang mungkin saja rusuh dan tentara itu dibutuhkan.
Persoalan lain di Haiti adalah tidak ada koordinasi bantuan. Alasan utamanya adalah banyaknya pejabat PBB, sampai 200 orang, yang tewas di Haiti. Berbeda dengan Aceh, koordinasi dengan cepat terbentuk sehingga bantuan jauh lebih bagus.
NURKHOIRI