TEMPO.CO, Jakarta - Seorang hakim garis keras Iran, Ebrahim Raisi, resmi menjadi Presiden Iran setelah menang telak mengungguli dua pesaingnya, Mohsen Rezaei dari kubu konservatif dan Abdolnaser Hemmati dari kubu teknokrat. Reuters melaporkan, Raisi meraih 17,8 juta suara dari total 28,6 juta suara pada pemilu Iran yang digelar 18 Juni 2021 dan diumumkan sehari setelahnya.
Ebrahim Raisi resmi menjabat Presiden Iran pada 3 Agustus 2021. Raisi adalah seorang loyalis Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, penentang pengaruh Barat, dan hakim yang sering memberi hukuman mati.
Selama menjadi hakim, ia dilaporkan Amnesty International sudah mengetok palu eksekusi mati untuk kurang lebih 5000 orang. Mayoritas di antaranya adalah tahanan politik yang dieksekusi di tahun 1988. Menurut kabar yang beredar, mereka yang mati karena vonis dari Raisi dimakaman di kuburan massal tersembunyi dan tanpa tanda.
"Terpilihnya Raisi adalah catatan bahwa impunitas masih bertahan di Iran," ujar Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, kepada Reuters, 19 Juni 2021.
Selain Amnesty International, organisasi yang juga khawatir akan terpilihnya Raisi adalah Dewan Pemberontakan Iran yang berbasis di Paris. Presiden organisasi tersebut, Maryam Rajavi, mengatakan kemenangan Raisi sebagai pertanda bahwa rezim represif di Iran akan bertahan.
Rajavi menjelaskan, rezim itu akan bertahan karena Raisi terpilih berkat sokongan Khamenei yang dikenal represif. Khamenei, katanya, berupaya keras menyingkirkan pesaing-pesaing Raisi agar loyalisnya itu menang mudah dan bisa dipersiapkan sebagai calon penerusnya. Walhasil, menurut Rajavi, tidak akan ada perubahan signifikan di Iran.
Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi berbicara kepada media setelah pertemuan mereka di Teheran, Iran 19 Juni 2021. Presiden Iran Hassan Rouhani yang mundur pada Sabtu (19 Juni) memberi selamat kepada hakim garis keras Ebrahim Raisi, yang menang telak dalam pemilihan presiden Iran. [Situs web resmi Kepresidenan Iran/Handout via REUTERS ]
Pada 2019, tak lama setelah Raisi diangkat oleh Khamenei menjadi Hakim Agung, Amerika menjatuhkan sanksi kepadanya. Ia dianggap sudah melanggar hak asasi manusia ketika mengeksekusi mati ribuan tahanan politik serta menggunakan pengadilan untuk menekan pelaku unjuk rasa.
Kemenangan Raisi menjadikannya sebagai Presiden Iran pertama yang sudah diberi sanksi oleh Amerika.
Terpilihnya Ebrahim Raisi membuat banyak pihak menerka tentang nasib Perjanjian Nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang sampai saat ini masih terlunta-lunta.
Jika Perjanjian Nuklir Iran gagal dipulihkan, kelompok konservatif seperti administrasi Raisi akan semakin memiliki alasan untuk tidak mempercayai Amerika dan mulai menjalin hubungan dengan negara lain.
Pada September Ebrahim Raisi menyampaikan Iran siap melanjutkan negosiasi perjanjian nuklir JCPOA, dengan syarat tanpa tekanan dari Barat dan Amerika janji mengangkat sanksi, yang sampai saat ini belum ada kesepakatan tercapai.
Baca juga: AS dan Israel Rencanakan Latihan Militer untuk Hancurkan Fasilitas Nuklir Iran
REUTERS