TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Iran Ebrahim Raisi resmi dilantik sebagai Presiden Iran, Selasa, 3 Agustus 2021. Dalam sebuah dekrit yang dibacakan stafnya, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei memberi persetujuan terhadap Raisi.
“Mengikuti pilihan rakyat, saya menugaskan Hojatoleslam Ebrahim Raisi yang bijaksana, tak kenal lelah, berpengalaman dan populer sebagai presiden Republik Islam Iran,” tulis Khamenei seperti dikutip dari Al Arabiya.
Dalam pidato pelantikan, Ebrahim Raisi bersumpah bahwa pemerintahannya akan berusaha mencabut sanksi Amerika Serikat. Ia menegaskan Iran tak akan menunggu bantuan asing untuk menyelamatkan ekonomi yang terpukul.
“Kami akan berusaha untuk mencabut sanksi tirani yang dijatuhkan oleh Amerika,” kata Ebrahim Raisi dalam pidato yang disiarkan televisi. Ia menambahkan bahwa pemerintahnya akan mencoba memperbaiki kehidupan rakyat Iran yang menderita akibat sanksi ekonomi.
Ebrahim Raisi juga mendapatkan sanksi pribadi dari Amerika Serikat atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia saat ia menjadi hakim. Ia terpilih pada Juni untuk menggantikan presiden sebelumnya Hassan Rouhani.
Pada masa kepemimpinan Hassan Rouhani, Iran dan enam negara besar telah melakukan pembicaraan sejak April untuk menghidupkan kembali pakta nuklir. Pejabat Iran dan negara-negara Barat mengatakan masih ada kesenjangan yang signifikan.
Putaran keenam pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan Washington di Wina ditunda pada 20 Juni, dan para pihak belum mengumumkan kapan akan melanjutkan pertemuan.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei adalah yang memutuskan semua masalah negara. Namun pergantian presiden akan menghilangkan pengaruh moderat pada kebijakan yang diputuskan oleh Rouhani sejak 2013.
Raisi akan dilantik pada hari Kamis. Dalam satu minggu, ia akan mempresentasikan kabinetnya ke parlemen.
Ebrahim Raisi ditunjuk oleh Khamenei untuk menjalankan peradilan pada 2019. Beberapa bulan kemudian, ia mendapatkan sanksi dari AS karena diduga berperan terhadap eksekusi ribuan tahanan politik Iran pada 1988. Namun Iran tidak pernah mengakui pembunuhan tersebut.
Sejak terpilih sebagai presiden, Raisi, 60, untuk pertama kalinya secara terbuka membahas tuduhan itu. Ia mengatakan AS menjatuhkan sanksi terhadapnya saat menjadi hakim. Pihak oposisi khawatir, jabatan Raisi sebagai presiden membuat Iran mendapat banyak tekanan dari luar negeri.
Baca: Iran Tunggu Ebrahim Raisi Memimpin, Negosiasi Perjanjian Nuklir Bakal Molor
AL ARABIYA | REUTERS