TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Sri Lanka menemukan 87 bom dan detonatornya di terminal bus besar di Kolombo, Senin, 22 April 2019. Penemuan bom dan detonatornya di terminal bus terjadi sehari setelah rangkaian bom bunuh diri di 3 gereja dan 3 hotel di Sri Lanka. Sedikitnya 290 orang tewas dan 500 orang terluka.
Baca: Teror Bom di Sri Lanka, 290 Orang Tewas dan 500 Orang Terluka
Pasukan keamanan Sri Lanka memburu ke berbagai penjuru negara untuk menemukan siapa pelaku pengeboman. Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas aksi teror paling berdarah di Sri Lanka sepanjang satu dekade terakhir.
Juru bicara pemerintah Sri Lanka, Rajitha Senaratne menyatakan teror bom pada hari Minggu pagi, 21 April 2019 melibatkan jaringan internasional.
"Kami tidak percaya serangan ini dilakukan terbatas hanya oleh sekelompok orang di negara ini.Tanpa jaringan internasional serangan-serangan ini tidak akan pernah terjadi," kata Senaratne.
Ambulans terparkir di depan Gereja St Anthony pasca-ledakan bom, di Kochchikade, Kolombo, Sri Lanka, Ahad, 21 April 2019. Sebanyak 138 orang lebih dilaporkan tewas dan 400 lebih terluka dalam ledakan bom di tiga gereja dan tiga hotel di Sri Lanka pada Minggu Paskah. REUTERS/Dinuka Liyanawatte
Baca: Pemimpin Dunia Berduka Pasca Teror Bom di Sri Lanka
Pada hari aksi teror bom bunuh diri mengguncang Sri Lanka, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengakui sebelumnya pemerintah telah menerima informasi mengenai kemungkinan terjadi serangan terhadap gereja-gereja yang melibatkan satu kelompok Islam lokal yang kurang dikenal.
Sri Lanka selama ini kerap dihantam konflik sektarian antara kelompok Budha berhadapan dengan etnis minoritas Tamil. Bahkan konflik ini berubah menjadi perang saudara hingga akhirnya pemerintah Sri Lanka mampu mengakhiri perang saudara itu 10 tahun lalu.
Baca: Total Ada 8 Ledakan Bom di Sri Lanka dalam Sehari
Selain itu, pemerintahan Sri Lanka baru saja diguncang prahara lantaran presiden Sirisena memecat Perdana Menteri Ranil Wichremesinghe tahun lalu. Sirisena menunjuk penggantinya dari pihak oposisi, Mahinda Rajapaksa. Beberapa pekan kemudian, Rajapaksa dipecat dan kembali Wickremensinghe menempati posisi perdana menteri.
Pergantian ini atas tekanan dari Pengadilan Mahkamah. Setelah itu, hubungan para petinggi Sri Lanka tegang sehubungan pemilihan presiden yang akan berlangsung dalam waktu dekat.