TEMPO.CO, Manila -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengajak dua kelompok separatis Abu Sayyaf dan pemberontak komunis untuk berdamai.
Baca:
Ajakan ini disampaikan seusai Duterte menandatangani Undang-Undang Bangsamoro Organic Law, yang memberikan kewenangan otonomi diperluas kepada masyarakat Muslim yang tinggal di kawasan selatan dari Pulau Mindanao.
Sebelumnya, Duterte menolak untuk berunding dengan kelompok yang dilabeli teroris.
“Abu Sayyaf mari bicara. Apa yang mau kita lakukan? Membunuh satu satu lain? Kalian bisa bunuh saya di manapun tapi apa yang kalian peroleh?” kata Duterte dalam bahasa Tagalog saat berpidato di Jolo, Sulu, pada Jumat, 27 Juli 2018 seperti dilansir media Philstar.
Dalam pidatonya, Duterte mengatakan,”Kita bukan orang Arab. Ayo jangan mengikuti mereka. Kita orang Melayu.”
Baca:
Kelompok separatis Abu Sayyaf telah menyatakan kesetiaannya terhadap kelompok teroris ISIS, yang berkeliaran di Timur Tengah. Selama ini, kelompok Abu Sayyaf dikenal lewat berbagai aksi pengeboman, pemenggalan kepala sandera, pemerasan dan penculikan untuk mendapatkan tebusan di kawasan Mindanao.
Abdullah Maute (kanan) bersama Isnilon Hapilon (tutup kepala kuning) yang diketahui sebagai pemimpin kelompok garis keras Abu Sayyaf di pulau Mindanao. AFP PHOTO/Philippine Army
Secara terpisah, ajakan berunding juga disampaikan Duterte kepada pemberontak komunis di Filipina seperti dilansir media Inquirer.
“Kelompok komunis, kita akan akhirnya berbicara dengan cara apapun yang kalian inginkan. Kita akan segera bicara. Tapi saya cukup tangguh,” kata Duterte dalam sebuah pidato di daerah Zamboanga Sibugay pada pekan lalu.
Duterte pernah membatalkan proses perdamaian dengan pemberontak komunis pada November 2017 tapi kemudian mencoba lagi pada Maret 2018.
Namun, Ketua Partai Komunis Filipina, Jose Ma Sison, tidak setuju proses perundingan berlangsung di Filipina.
Belakangan Sison mengatakan pemberontak komunis tidak akan mau berunding lagi dengan pemerintahan Duterte dan malah mendukung upaya untuk menjatuhkannya.
Menurut Duterte, kedua pihak bakal harus berbicara satu sama lain. “Saya mungkin tidak lagi menjadi Presiden pada saat itu tapi kita harus bicara karena kita tidak bisa berperang melawan rakyat kita sendiri,” kata Duterte sambil meminta kelompok bersenjata tidak menyerang warga sipil dalam aksinya.