TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau DK PBB akan bertemu untuk membahas masalah kekerasan terhadap etnis minoritas muslim Rohingnya di Myanmar. Pembahasan tersebut akan dilangsungkan pada Kamis, 28 September 2017 dan bersamaan itu akan ada agenda briefing dari Sekjen PBB Antonio Guterres mengenai krisis kemanusiaan itu.
Baca: Myanmar Sebut Milisi Rohingya Tindas Warga Hindu di Rakhine
Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan 4 negara lainnya mengajukan permohonan untuk pertemuan tersebut setelah lebih dari 430.000 pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di utara negara bagian Rakhine ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017.
PBB menggambarkan operasi militer Myanmar sebagai 'pembersihan etnis' sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron minggu lalu menyebutnya 'genosida'.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang mencela nasib Rohingya, menuduh Myanmar meluncurkan 'teror Buddhis' terhadap minoritas Islam dan menuduh 'genosida'.
Operasi militer pecah sebagai akibat serangan terhadap pemberontak Rohingya di pos polisi pada 25 Agustus lalu.
Seperti yang dilansir Channel News Asia pada 26 September 2017, pertemuan tersebut juga diminta oleh Mesir, Kazakhstan, Senegal dan Swedia, anggota Dewan Keamanan PBB yang tidak tetap.
Baca: Militer Myanmar Perkosa Wanita Rohingya, Ini Temuan Dokter PBB
Anggota Dewan akan mendapatkan update situasi di Myanmar hari ini, sebelum briefing resmi Guterres, yang akan diadakan dalam sebuah sesi terbuka.
Dewan Keamanan PBB awal bulan ini mendesak 'tindakan segera' untuk mengakhiri kekerasan, menyusul sebuah pertemuan tertutup.
Rohingya yang memiliki populasi sebanyak 1,1 juta jiwa telah bertahun-tahun mengalami diskriminasi di Myanmar. Mereka ditolak kewarganegaraannya meskipun banyak di antaranya telah menetap lama di negara ini.
Pada awal September, Guterres mengambil langkah yang langka untuk mengirim sebuah surat ke Dewan Keamanan PBB untuk mengungkapkan keprihatinan tentang bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung, meningkatkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat memiliki "implikasi bagi perdamaian dan keamanan" di luar perbatasan Myanmar.
Kelompok hak asasi manusia juga telah mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah Myanmar dan mendesak negara-negara untuk meninjau kembali kerja sama militer.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dianggap gagal memadamkan penganiayaan terhadap Rohingya saat dia menyampaikan sebuah pidato di tingkat nasional minggu lalu. Suu Kyi hanya meminta semua pihak untuk bersabar.
Sebelumnya Pengadilan Rakyat Internasional dalam sidangnya di Kuala Lumpur menyimpulkan bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan genosida terhadap minoritas muslim Rohingya.
Ketujuh hakim pengadilan menyatakan bahwa berdasarkan sejumlah dokumen, bukti, keterangan 200 korban warga Rohingya, Kachin, dan sejumlah etnis minoritas di Myanmar dapat disimpulkan bahwa pemerintahan negeri itu telah melakukan genosida.
Pertemuan seluruh anggota Dewan Keamanan PBB yang diadakan lusa akan menentukan nasib Rohingya dan juga pemerintah Myanmar.
CHANNEL NEWS ASIA|YON DEMA