TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah dokter yang bertugas di bawah payung PBB menemukan wanita-wanita etnis Rohingya korban perkosaan militer Myanmar dengan kondisi mengerikan di kamp pengungsi Bangladesh. Perkosaan adalah cara teror militer Mynamar, mereka menyimpulkan.
Baca: PM Bangladesh Desak PBB Bentuk Zona Aman Rohingya di Myanmar
Tasunba Nourin, seorang dokter di Organisasi Internasional untuk Migran (IOM) mengatakan kepada Reuters, para korban perkosaan banyak yang mengalami luka termasuk akibat gigitan, vagina robek, dan ada tanda-tanda senjata api digunakan untuk menembus alat vital wanita.
Nourin Tasnupa, yang bekerja di sebuah klinik milik PBB di kamp pengungsi dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar, mengatakan, hampir semua wanita Rohingya korban selamat mengalami pukulan, perkosaan, gigitan di bagian payudara dara dan alat kelaminnya.
"Mereka tidak menceritakan insiden ini meskipun dengan keluarganya. Perkosaan adalah stigma buruk di kalangan masyarakat konservatif Rohingya, " kata Tasnupa.
Seorang perempuan yang sedang menggendong anak kecil berusia enam tahun meneteskan air mata ketika berbicara dengan wartawan. Dia mengaku diperkosa oleh tiga militer Myanmar.
Baca: Amerika Desak Myanmar Izinkan Tim Fakta PBB Selidiki Rohingya
"Ketika mereka kabur, saya berlari keluar rumah bersama dua anak saya untuk menyusul kerumunan orang yang meninggalkan seluruh harta bendanya," ucap wanita itu.
Wanita lain mengaku mengalami pendarahan selama tiga hari sebelum tiba di perbatasan Bangladesh.
Pramila Patten, Perwakilan Khusus PBB untuk Kekerasan Seks, mengatakan, dia sangat prihatin dengan operasi keamanan di Rahine yang disebut PBB sebagai operasi pembersihan etnis.
Dia menerangkan, para korban selamat itu mengaku mendapatkan kekerasan seks sebagai alat teror guna memaksa warga keluar dari Rakhine. Hampir semua korban kekerasan seks itu mengatakan kepada dokter bahwa para pelakunya mengenakan seragam militer Myanmar. Salah seorang wanita korban perkosaan mengatakan, dia diperkosa oleh lima serdadu sementara pria lainnya melihat aksi itu.
Baca: Bangladesh Bebaskan 2 Jurnalis Myanmar yang Ditahan di Cox Bazar
Lebih dari 430 ribu etnis Rohinya meninggalkan Rakhine menuju Bangladesh sejak Agustus 2017. Saat itu pasukan Myanmar melancarkan operasi keamanan setelah beberapa pos polisi dan pangkalan militer diserbu sejumlah milisi.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian yang dikecam dunia karena dianggap tidak bisa mengendalikan kekerasan, berjanji akan menindak para pelaku kekerasan di Rakhine.
Namun pemerintah Myanmar menolak memberikan izin kepada tim pencari fakta PBB masuk ke Rakhine guna melakukan investigasi atas teror terhadap kaum Rohingya sejak Februari 2017.
BRISBANE TIMES | CHOIRUL AMINUDDIN