TEMPO.CO, Meiktila — Militer mulai memasuki area konflik di wilayah tengah Myanmar, Sabtu, 23 Maret 2013. Sekitar 50 truk tentara berduyun-duyun memasuki Kota Meiktila, yang selama tiga hari mengalami kerusuhan sektarian antara kelompok Buddha dan Islam, serta menewaskan sedikitnya 20 orang.
Walaupun Presiden Thein Sein telah mengumumkan kondisi darurat pada Jumat lalu, situasi mencekam masih terasa di Meiktila hingga hari ini. Kedatangan militer di kawasan konflik ini diharapkan dapat mengembalikan situasi menjadi normal.
Kyaw Kyaw, pemimpin komunitas muslim di wilayah itu, menuturkan, ia berhasil menyelamatkan diri berkat bantuan para tetangga dan biarawan Buddha. “Kami tidak sempat menyelamatkan apa pun kecuali diri sendiri,” kata pria berusia 27 tahun itu.
Hingga kini penyebab kekerasan sektarian belum diketahui pasti. Namun, kabar yang beredar menyebutkan, insiden ini dipicu oleh pertengkaran antara seorang pedagang toko emas muslim dan pembeli beragama Buddha. Tak lama kemudian, kabar beredar seorang biksu Buddha dan seorang pria muslim tewas.
Kabar ini kemudian memicu kemarahan warga Buddha. Massa yang beringas kemudian membakar permukiman warga muslim serta beberapa masjid. Sejumlah korban tewas akibat terpanggang hidup-hidup dalam kekerasan tersebut.
Akibatnya, separuh kota hangus terbakar. Ribuan warga, baik Buddha maupun muslim, terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih aman, seperti stadion sepak bola dan biara Buddha.
Sebagian besar penduduk muslim di Myanmar berasal dari keturunan etnis India, Cina, dan Bangladesh. Sebagian besar dari mereka telah hidup di Myanmar selama beberapa dekade. Namun kekerasan terhadap warga muslim yang berjumlah 4 persen dari total penduduk Myanmar terus berlangsung.
Kekerasan terburuk terjadi pada Juni lalu, saat massa Buddha menyerang warga etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Insiden ini merenggut 180 nyawa dan menyebabkan 110 ribu penduduk—sebagian besar etnis Rohingya—terpaksa mengungsi atau melarikan diri ke luar negeri.
CHANNEL NEWS ASIA | SITA PLANASARI AQUADINI