TEMPO.CO , Jenewa -Negara-negara Barat ramai-ramai mengusir diplomat Suriah di tengah tudingan milisi bersenjata yang didukung pemerintah berada dibalik pembantaian di Houla. Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan mayoritas korban tewas adalah dieksekusi dari jarak dekat.
Selasa lalu, seperti dikutip Reuters, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Rupert Colville menyebutkan "dibawah 20 jasad dari 108 yang tewas dalam serangan yang bisa dikonfirmasi akibat tembakan artileri dan tank.
Warga sipil yang selamat bilang kepada pengamat PBB bahwa pembunuhan dari pintu ke pintu telah menewaskan 49 anak-anak dan 39 perempuan. Tertuduh adalah pasukan milisi Shabbiya yang pro-pemerintah.
Beberapa saksi lain menyalahkan pasukan pemberontak, dengan menyatakan serangan adalah ongkos buat mereka yang menolak mengangkat senjata untuk melawan pasukan pemerintah.
Damaskus kemarin membantah apapun keterliabtan dalam pembantaian. Mereka menuding "teroris bersenjata" yang bertujuan mendestabilisasi proses perdamaian lewat pembunuhan massal.
Utusan khusus PBB dan Liga Arab Kofi Annan, Rabu berbicara dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Annan menegaskan enam poin rencananya harus benar-benar diimplementasikan sekarang, dan "peristiwa semacam itu tidak akan terjadi."
Sebelumnya, Selasa 29 Mei 2012 lalu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov berbicara dengan Annan via telepon. Lavrov menyerukan kedua belah pihak dalam konflik Suriah harus menghentikan semuar kekerasan.
Lavrov memperingatkan bahwa sejumlah negara mengeksploitasi tragedi dengan tujuan untuk mendesakkan solusi militer dalam krisis Suriah.
Di Moskow, Rabu 30 Mei 2012, Menteri Lavrov mengecam seruan pemimpin Dewan Nasional Suriah -payung oposisi Suriah- Burhan Ghalion yang ingin bertempur hingga Dewan Keamanan PBB "setuju intervensi militer". Lavrov mengatakan seruan itu sama saja provokasi lansung ke arah perang saudara dan bertentangan dengan semangat rencana perdamaian Annan.
Sementara investigasi terhadap pembantaian di Houla berjalan, mantan perwira intelijen Inggris, Alastair Crooke kepada RT, Kamis 31 Mei 2012 menyebutkan serangan itu bukanlah karakteristik budaya di kawasan Timur Tengah yang mencakup Suriah.
"Tipe pembunuhan itu, memenggal, menggorok leher (termasuk anak-anak), dan mutilasi tubuh, bukanlah karakteristik Levantine Islam, bukan di Suriah, juga bukan Libanon. Tetapi hal semacam itu terjadi di provinsi Anbar, Irak," kata Crooke. "Tampaknya tudingan lebih banyak terarah ke kelompok-kelompok yang terasosiasi dengan perang di Irak melawan Amerika Serikat yang boleh jadi kembali masuk Suriah, atau mungkin dilakukan orang Irak yang datang dari Anbar yang ikut andil dalam aksi keji itu."
Crooke meyakini pengkaitan dengan al-Qaidah tak tepat, karena pembantaian itu taktik dan berakar ideologi di dalam Perang Irak.
"Saya perkirakan serangan adalah lebih dekat ke Musab al-Zarqawi (yang mendeklarasikan mengusir Syiah di Irak), ketimbang al-Qaidah. Sebagaimana kita tahu, Zarqawi dan Irak telah melahirkan kekerasan tersebut sangat kuat. Anti Syiah dan retorika anti Iran. Banyak dari hal itu masuk ke Suriah ketika para pejuang dari Anbar kembali ke rumah mereka di sekitar Homs dan Hama," tutur Crooke lagi.
RT | REUTERS | DWI ARJANTO