TEMPO.CO, Jakarta - Shigeru Ishiba dipilih menjadi perdana menteri Jepang menggantikan Fumio Kishida pada Selasa, 1 Oktober 2024, melalui pemungutan suara di parlemen. Terpilihnya Ishiba akan membuka jalan baginya untuk mengumumkan Kabinet secara resmi dan mempersiapkan pemilihan umum dengan cepat pada 27 Oktober 2024.
Sebelumnya Ishiba menjabat sebagai menteri pertahanan. Pria berusia 67 tahun itu memenangkan persaingan ketat minggu lalu untuk memimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa. Ishiba diperkirakan akan mengadakan konferensi pers pada hari Selasa setelah Kaisar secara resmi menunjuknya dan kabinetnya dalam sebuah upacara di Istana Kekaisaran Tokyo.
Setelah berkuasa, ia harus meredakan amarah rakyat Jepang karena melonjaknya biaya hidup dan partainya yang dilanda skandal. Jepang juga sedang menghadapi ketidakstabilan keamanan di Asia Timur yang dipicu oleh ketegangan dengan Cina dan Korea Utara yang memiliki senjata nuklir.
Ishiba sebelumnya dipandang sebagai orang luar partai yang gagal dalam empat pencalonan kepemimpinan sebelumnya. Setelah dipilih menjadi perdana Menteri, ia mulai memilih pejabat pemerintah dan partai yang akan bertarung dalam pemilihan umum mendatang.
Sekutu dekat Ishiba, Takeshi Iwaya, mantan kepala pertahanan, akan mengambil alih jabatan menteri luar negeri, sementara Jenderal Nakatani akan kembali ke kementerian pertahanan. Yoji Muto, mantan menteri muda, akan mengambil alih jabatan di kementerian ekonomi, perdagangan, dan industri, kata sumber terpisah.
Pendekatan pemerintahan Ishiba terhadap diplomasi dengan sekutu terdekat Jepang, Amerika Serikat, akan menjadi fokus, karena ia telah berulang kali menyerukan hubungan yang lebih seimbang dengan Washington. Ia juga mengusulkan pembentukan NATO versi Asia yang akan menghalangi dominasi Cina. Namun gagasan ini ditolak pejabat senior AS dan bisa memicu kemarahan Beijing.
Pemilihan perdana menteri Jepang ditujukan untuk menggantikan posisi Fumio Kishida yang pada Agustus 2024 lalu mengejutkan publik dengan mengumumkan pengunduran dirinya. Kishida mundur menyusul serangkaian skandal yang membuat dukungan pada Partai Liberal Demokrat anjlok hingga ke rekor terendah.
Dalam panggung politik Jepang, Ishiba mendukung sejumlah kebijakan progresif seperti mengizinkan pasangan suami istri menggunakan nama keluarga masing-masing, dimana kebijakan ini ditentang Takaichi dan anggota konservatif di Partai Demokrat Liberal.
Dukungan publik terhadap Kishida telah merosot di tengah terungkapnya hubungan Partai Liberal Demokrat dengan Gereja Unifikasi yang kontroversial. Partai ini juga terjerat skandal sumbangan politik yang diberikan dalam acara penggalangan dana partai yang tidak tercatat.
Kishida juga menghadapi ketidakpuasan publik karena meningkatnya biaya hidup di Jepang yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah. Jepang berhasil melepaskan diri dari tekanan deflasi selama bertahun-tahun.
Menurut Profesor Ilmu Politik dari Universitas Sophia, Koichi Nakano, siapapun yang menggantikan Kishida harus bisa menyatukan kelompok penguasa yang terpecah. Ia juga harus bisa mengatasi kenaikan biaya hidup, ketegangan geopolitik dengan Cina dan potensi kembalinya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat tahun depan.
REUTERS