TEMPO.CO, Jakarta - Afrika Selatan tidak hanya sedang menghadapi wabah pandemi COVID-19 yang disebabkan varian Omicron, tetapi juga wabah pelecehan seksual disertai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang meningkat.
Statistik baru-baru ini mengungkapkan peningkatan 7,1 persen dalam kasus pemerkosaan, dengan 9.556 perempuan diperkosa antara Juli dan September, menurut WION, dikutip 22 Desember 2021.
Presiden Cyril Ramaphosa menyebut statistik baru-baru ini "memalukan" pada November.
Ada juga sekelompok aktivis perempuan yang mendatangi tiap rumah atau jalan-jalan di Johannesburg, memperingatkan bahaya kekerasan seksual. Mereka juga memperingatkan remja yang kembali dari sekolah.
Mereka disebut brigade anti-kekerasan berbasis gender atau Brigade Gender-Based Violence (GBV), yang bertujuan untuk menghadapi wabah pembunuhan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Afrika Selatan.
Salah satu kasus yang mengerikan adalah seorang mahasiswi hukum dibunuh, tubuhnya dimutilasi dan dimasukkan ke dalam koper. Mahasiswi lain diperkosa, dipukul sampai meninggal dengan timbangan besi di dalam kantor pos. Seorang perempuan hamil delapan bulan digantung di pohon, seperti dilaporkan African News.
"Kita tidak bisa mengabaikan apa yang kita (lihat) sampai keadilan mengambil jalannya," kata Juliet Ngonyama, 52 tahun, mengenakan celemek makan berwarna oranye, simbol gerakan itu.
Oranye adalah simbol revolusi di Afrika Selatan. Ini melambangkan tekad para aktivis untuk meredam aksi kekerasan yang semakin memburuk sejak merebaknya pandemi COVID-19.
Cyril Ramaphosa diambil sumpahnya di parlemen, Cape Town [Rodger Bosch/Reuters]
Lebih dari 100 pemerkosaan dilaporkan setiap hari, sementara rata-rata seorang perempuan dibunuh setiap tiga jam, menurut data resmi.
Menanggapi statistik itu, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan kekerasan terhadap perempuan sebagai pandemi kedua setelah COVID-19.
"Kami berada dalam cengkeraman perang tanpa henti yang dilancarkan pada tubuh perempuan dan anak-anak yang, terlepas dari upaya terbaik kami, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
"Jika karakter suatu bangsa dapat dinilai dari bagaimana memperlakukan perempuan dan anak-anak, maka kita sangat tertinggal," katanya.
Kekerasan terhadap perempuan sangat dinormalisasi sehingga sulit bagi korban atau orang-orang mencari bantuan dan mencoba membantu para penyintas lainnya, kata manajer program brigade antikekerasan terhadap perempuan Nisaa Sima Diai.
France24 melaporkan, Parlemen Afrika Selatan pada September meloloskan tiga undang-undang untuk memperketat undang-undang tentang kekerasan berbasis gender, tetapi para advokat mengatakan bahwa itu tidak akan mengatasi penyebab masalah.
Pria Afrika Selatan sering tumbuh tanpa ayah, dan juga menderita akibat kekerasan, kata Craig Wilkinson, pendiri organisasi nirlaba, Father A Nation.
Dengan tumbuhnya pandangan maskulinitas ditambah pengangguran yang merajalela di Afrika Selatan, meningkatkan risiko pria untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan , katanya.
Baca juga: Parlemen Cina Godog RUU Perlindungan Perempuan, Didorong Gerakan #MeToo
AFRICAN NEWS | WION | FRANCE24