TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok aktivis perempuan Afghanistan menggelar protes kecil di Kabul, Jumat, 3 September 2021, menyerukan persamaan hak dan partisipasi penuh dalam kehidupan politik.
Meski keselamatan mereka terancam karena Taliban yang saat ini menguasai Afghanistan melarang perempuan beraktifitas termasuk bekerja dan sekolah, kelompok Jaringan Partisipasi Politik Perempuan berbaris di jalan di depan Kementerian Keuangan Afghanistan, meneriakkan slogan sambil mengacungkan poster menuntut keterlibatan perempuan dalam pemerintah.
Menurut CNN, berdasarkan video rekaman, mereka sempat berhadapan dengan penjaga Taliban. Namun tidak ada insiden kekerasan.
Unjuk rasa itu diikuti belasan orang, namun keberanian mereka dinilai luar biasa. Pemerintahan Taliban yang baru terbentuk, tampaknya akan kembali mengekang wanita seperti saat mereka berkuasa pada 1990-an.
Meski begitu, para pemimpin Taliban menyatakan bahwa perempuan akan memainkan peran penting dalam masyarakat dan memiliki akses ke pendidikan.
Namun beberapa wanita Afghanistan memilih tinggal di rumah karena takut akan keselamatan mereka, dan beberapa keluarga membeli burqa.
Sehari sebelum demonstrasi di Kabul, terjadi unjuk rasa di kota Herat, Afghanistan barat. Perempuan dalam protes itu memegang poster besar yang bertuliskan, "Tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lama tanpa dukungan perempuan. Tuntutan kami: Hak atas pendidikan dan hak untuk bekerja di semua bidang."
Lina Haidari, seorang pengunjuk rasa di Herat, mengatakan "hak dan pencapaian perempuan, yang telah kami kerjakan dan perjuangkan selama lebih dari 20 tahun tidak boleh diabaikan" di bawah pemerintahan Taliban, menurut video acara dari Getty Images.
Bulan lalu, juru bicara Taliban Zabiullah Mujahid mengatakan perempuan tidak boleh pergi bekerja untuk keselamatan mereka sendiri, merusak upaya kelompok itu untuk meyakinkan pengamat internasional bahwa kelompok itu akan lebih toleran terhadap perempuan daripada ketika mereka terakhir berkuasa.
Mujahid mengatakan panduan untuk tinggal di rumah akan bersifat sementara, dan akan memungkinkan kelompok tersebut menemukan cara untuk memastikan bahwa perempuan tidak "diperlakukan dengan cara yang tidak sopan".
Kekhawatiran tentang nasib perempuan mendorong Bank Dunia mengumumkan pada hari yang sama bahwa mereka menghentikan bantuan keuangan ke negara yang sedang kekurangan uang itu.
Pada awal Juli, gerilyawan masuk ke kantor Azizi Bank di selatan kota Kandahar dan memerintahkan sembilan wanita yang bekerja di sana untuk pergi, lapor Reuters. Teller bank perempuan diberitahu bahwa kerabat laki-laki akan menggantikan mereka.
Baca juga: Pendiri Taliban Abdul Ghani Baradar Akan Memimpin Pemerintahan Baru Afghanistan