TEMPO.CO, Jakarta - Komite yang terdiri dari anggota parlemen sipil Myanmar yang dikudeta sedang mempertimbangkan apakah Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) bisa menyelidiki kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan setelah kudeta militer 1 Februari, kata utusan Myanmar untuk PBB pada Kamis.
Kyaw Moe Tun mengatakan Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), yang berusaha untuk membangun kembali pemerintah sipil dan menyingkirkan junta militer, sedang mencari cara agar pemimpin juta bisa dimintai pertanggungjawaban atas kekerasan setelah kudeta.
"ICC adalah salah satunya," kata Kyaw Moe Tun dalam sebuah acara dengan Institute for the Study of Human Rights Columbia University pada Kamis, dikutip dari Reuters, 19 Maret 2021.
"Kami bukan negara anggota di ICC, tetapi kami perlu....mengeksplorasi cara dan sarana untuk membawa kasus ini ke ICC."
Myanmar berada dalam krisis sejak militer menggulingkan pemerintah pemimpin Aung San Suu Kyi dalam kudeta. Militer Myanmar pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing menuduh pemilu 8 November 2020 yang dimenangkan Partai NLD Suu Kyi diwarnai kecurangan.
Sebelum parlemen terpilih menjabat, tentara menahan Aung San Suu Kyi dan para pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan membentuk pemerintahan junta.
Pengunjuk rasa anti-kudeta militer membuat barikade saat mereka terlibat bentrok dengan pasukan keamanan di Jembatan Bayint Naung di Mayangone, Yangon, Myanmar, 16 Maret 2021. Hingga kini sudah sekitar 200 demonstran yang tewas akibat kekerasan dari militer Myanmar. REUTERS/Stringer
Pasukan keamanan telah menggunakan taktik kekerasan yang semakin meningkat untuk menekan demonstrasi setiap hari, dan ribuan orang telah ditahan. Sekitar 217 orang telah terbunuh, menurut kelompok aktivis Assistance Association for Political Prisoners.
Penyelidik Hak Asasi Manusia Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa, Thomas Andrews, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pekan lalu, bahwa militer Myanmar telah melakukan pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan yang mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Seorang juru bicara junta mengatakan pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan hanya jika diperlukan.
Baca juga: Penyelidik PBB Minta Orang-orang Kumpulkan Bukti Kejahatan Junta Militer Myanmar
Myanmar bukan anggota ICC, tetapi CRPH telah mempelajari pasal 12.3 Statuta Roma yang membuat pengadilan tersebut, kata Kyaw Moe Tun. Berdasarkan pasal tersebut, Myanmar dapat mengajukan deklarasi kepada registrar pengadilan untuk "menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan sehubungan dengan kejahatan yang dipermasalahkan".
Langkah seperti itu kemungkinan akan memicu perdebatan tentang siapa yang diakui secara internasional sebagai pemerintah Myanmar.
Kyaw Moe Tun, yang secara terbuka memutuskan hubungan dengan junta dalam pidatonya di Majelis Umum PBB bulan lalu, dan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan bahwa tidak ada negara yang harus mengakui atau melegitimasi junta Myanmar.
Dewan Keamanan PBB juga dapat merujuk situasi ke ICC yang berbasis di Den Haag, meskipun kekuatan veto Rusia dan Cina kemungkinan tidak akan mendukung langkah seperti itu di Myanmar.
REUTERS