TEMPO.CO, Jakarta - Kesenjangan antara orang kaya dan miskin tampak semakin lebar setelah Oxfam merilis laporan bahwa 22 pria kaya di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi 326 juta perempuan di Afrika.
Oxfam International menyerukan kepada pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang meringankan beban perempuan yang memberikan perawatan untuk anak-anak dan orang tua, yang seringkali dengan sedikit atau tanpa bayaran.
Oxfam menyarankan pajak yang lebih tinggi pada orang kaya, dan lebih banyak pengeluaran oleh pemerintah nasional untuk perawatan anak dan kesehatan.
Dikutip dari CNN, 20 Januari 2020, laporan tahunan Oxfam tentang ketimpangan dirilis menjelang Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, yang setiap tahun menyatukan banyak orang terkaya dan paling berpengaruh di dunia.
Di antara temuan utama laporan sebagai berikut: 2.153 miliarder dunia memiliki kekayaan lebih dari 4,6 miliar orang; 22 pria terkaya memiliki kekayaan lebih dari semua wanita di Afrika; menurut PBB, ada 326 juta berusia 20 tahun ke atas; 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari dua kali lipat 6,9 miliar orang; nilai pekerjaan perawatan yang tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun ke atas adalah US$ 10,8 triliun (Rp 147 ribu) per tahun; jumlah miliarder telah berlipat ganda selama dekade terakhir.
Bendera nasional beberapa negara dan bendera logo World Economic Forum (WEF) berkibar di atap pusat kongres selama persiapan pertemuan WEF tahunan di resor Alpen Swiss di Davos, Swiss 19 Januari 2020. [REUTERS / Denis Balibouse]
Laporan setebal 63 halaman itu berpendapat bahwa para pemimpin dunia tidak cukup berbuat untuk mengatasi kesenjangan yang semakin lebar antara si miskin dan si kaya. Laporan berfokus untuk tahun ini pada kebijakan yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi peringkat teratas dalam bisnis dan pemerintah. Ketimpangan ekonomi, menurut laporan itu, dibangun di atas ketidaksetaraan gender.
"Perempuan mendukung ekonomi pasar dengan tenaga kerja murah dan gratis dan mereka juga mendukung negara dengan memberikan perawatan yang harus disediakan oleh sektor publik," kata laporan itu. "Pekerjaan yang tidak dibayar ini memicu sistem ekonomi seksis yang mengambil dari banyak orang dan memasukkan uang ke dalam kantong segelintir orang."
Oxfam memperingatkan bahwa populasi yang menua dan pemotongan layanan publik mengancam untuk menambah beban pekerja perawatan dan memicu ketidaksetaraan lebih lanjut.
"Penting bagi kita untuk menggarisbawahi bahwa mesin ekonomi tersembunyi yang kita lihat adalah pekerjaan perawatan perempuan yang tidak dibayar. Dan itu perlu diubah," kata Amitabh Behar, CEO Oxfam India, dikutip dari Reuters.
Untuk menyoroti tingkat ketimpangan dalam ekonomi global, Behar mengutip kasus seorang perempuan bernama Buchu Devi di India yang menghabiskan 16 hingga 17 jam sehari melakukan pekerjaan seperti mengambil air setelah berjalan kaki 3 km, memasak, menyiapkan anak-anaknya untuk sekolah dan bekerja di pekerjaan dengan bayaran rendah.
"Dan di satu sisi Anda melihat miliarder yang semuanya berkumpul di Davos dengan pesawat pribadi, jet pribadi, gaya hidup super kaya," katanya. "Buchu Devi ini bukan satu orang. Saya di India bertemu dengan para perempuan ini setiap hari, dan ini adalah kisah di seluruh dunia. Kita perlu mengubah ini, dan tentu saja mengakhiri ledakan miliarder ini."
Behar mengatakan bahwa untuk memperbaiki hal ini, pemerintah harus memastikan di atas segalanya bahwa orang kaya membayar pajak mereka, yang kemudian harus digunakan untuk membayar fasilitas seperti air bersih, perawatan kesehatan, dan sekolah yang lebih berkualitas.
Behar juga merujuk pada protes yang terjadi di 30 negara di seluruh dunia. Menurutnya, orang-orang yang turun ke jalan meneriakkan slogan yang sama, yakni menentang ketidaksetaraan dan kesenjangan antara si kaya dan miskin.