TEMPO.CO, Jakarta - Sri Lanka pada Sabtu, 22 Juni 2019, memperpanjang status darurat negara itu hingga satu bulan ke depan. Status darurat diberlakukan setelah terjadi serangan teror pada hari Paskah yang menewaskan 258 orang.
Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena mengatakan ada kepentingan publik dengan diberlakukannya status ini dan akan mengajukan ketentuan undang-undang keamanan publik sehingga status ini bisa diperpanjang.
Status dararut memungkinkan para penegak hukum seperti aparat kepolisian dan keamanan Sri Lanka melakukan penangkapan dan penahanan pada terduga pelaku kejahatan. Sejak terjadinya serangan teror pada April 2019, sudah lebih dari 100 orang, termasuk 10 perempuan, ditahan oleh otoritas berwenang Sri Lanka.
Petugas polisi menggeledah tas umat Budha di pintu masuk kuil Kelaniya saat akan merayakan Hari Raya Waisak, di Kolombo, Sri Lanka, 18 Mei 2019. Usai terjadinya aksi teror saat Paskah, massa Anti-Muslim juga melakukan aksi kekerasan dengan membakar dan merusaka tempat ibadah umat Muslim di bulan Ramadan. REUTERS/Dinuka Liyanawatte
Status darurat ini seharusnya habis pada Sabtu, 22 Juni 2019, tetapi bisa diperpanjang hingga satu bulan berikutnya dan anggota parlemen Sri Lanka harus melakukan ratifikasi dalam tempo 10 hari.
Sebelumnya pada akhir Mei lalu, Sirisena mengatakan pada para diplomat dari Australia, Kanada, Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa bahwa situasi negaranya sudah 99 persen kembali normal. Dia pun meyakinkan pada para diplomat bahwa pasukan keamanan Sri Lanka telah menahan mereka yang terlibat dalam serangan teror di tiga gereja dan tiga hotel bintang lima pada hari Paskah April lalu.
Akan tetapi pada Sabtu, 22 Juni 2019, Presiden Sirisena memperpanjang status darurat negaranya. Tidak ada alasan dari pemerintah mengapa status ini diperpanjang. Situasi keamanan di ibu kota Kolombo pun masih diperketat.
Presiden Sirisena menyalahkan kelompok garis keras lokal atas serangan teror April lalu yang juga diklaim oleh kelompok Islamic State (ISIS). Di dalam negerinya, Presiden Sirisena dikritik karena dianggap telah gagal menindak lanjuti laporan intelijen India kalau sejumlah kelompok garis keras berencana menyerang beberapa gereja dan target lain di Sri Lanka.