TEMPO.CO, Christchurch – Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengatakan masyarakat berkumpul tepat 14 hari pasca hari tergelap dalam sejarah negara terkait serangan teror pada Jumat, 15 Maret 2019.
Baca:
“Kita akan mengingat air mata bangsa kita, dan tekad baru yang telah terbentuk,” kata Ardern kepada ribuan massa yang berkumpul di lapangan Hagley Park, Christchurch, untuk memperingati korban serangan teror terhadap jamaah salat Jumat atau National Remembrance Service, seperti dilansir Stuff pada Jumat, 29 Maret 2019.
PM Ardern menyampaikan pidato dalam bahasa Maui dan Inggris. “Pada hari-hari setelah serangan teroris pada 15 Maret, kita sering mendapati diri kita tidak bisa berkata-kata,” kata pemimpin termuda dunia ini. “Mari kita berkumpul dalam cinta. Dalam perdamaian.”
Baca:
Jadinca Ardern mengatakan tidak ada kata-kata yang bisa mengekspresikan rasa sakit dan penderitaan melihat hilangnya nyawa 50 orang lelaki, perempuan dan anak-anak, serta banyak yang terluka.
“Kata apa yang dapat melukiskan penderitaan komunitas Muslim yang menjadi target kebencian dan tindak kekerasan,” kata dia. Ardern juga mengatakan masyarakat Kota Christchurc mengalami penderitaan yang sangat banyak.
“Dan kita datang ke sini dan bertemu dengan salam yang sederhana: Assalamualaikum. Damai menyertai Anda,” kata dia.
Baca:
PM Selandia Baru, Jacinda Ardern, berpidato dalam peringatan serangan teror jamaah masjid atau National Remembrance Service di lapangan Hagley Park, Christchurch, pada Jumat, 29 Maret 2019.
Menurut Ardern, ini adalah kata-kata yang disampaikan komunitas Muslim, yang sedang menjadi korban kebencian dan tindak kekerasan. “Mereka punya semua hak untuk mengekspresikan rasa marah tapi memilih untuk membuka pintu mereka untuk kita semua agar bisa berduka bersama.”
Jacinda Ardern mengapresiasi sikap masyarakat yang mengekspresikan rasa dukanya dengan menaruh bunga, menarikan tarian haka, menyanyikan lagu hingga saling berpelukan. “Ini telah menyatukan kita,” kata dia.
Ardern juga menyebut keberanian masyarakat yang saling membantu saat terjadi teror. “Ini menjadi ingatan kolektif kita. Akan tetap tinggal bersama kita selamanya,” kata dia.
Ribuan warga Selandia Baru menghadiri upacara peringatan atau National Remembrance Service pada korban serangan teror di dua masjid Selandia Baru di Hagley Park, Christchurch, 29 Maret 2019. Acara ini digelar di lapangan Hagley Park, yang berdekatan dengan masjid Al Noor, yang merupakan salah satu target serangan teror pada 15 Maret lalu. REUTERS/Jorge Silva
Ardern menyebut kebencian ras atau sikap rasisme sebagai bentuk virus dan tidak diterima di Selandia Baru. Begitu juga dengan tindak kekerasan dan ekstrimisme. “Serangan terhadap kebebasan kita dalam mempraktekkan keyakinan dan agama tidak diterima di sini,” kata dia.
Baca:
Jacinda Ardern juga meminta semua masyarakat untuk memerangi virus kebencian, tindak kekerasan, rasa takut, dan rasisme bersama-sama. “Jangan serahkan ini kepada pemerintah saja,” kata dia. “Kita semua punya kekuatan dalam kata-kata dan tindakan kita sehari-hari untuk bersikap baik. Mari jadikan ini sebagai warisan dari 15 Maret.”
Serangan teror di Selandia Baru, seperti dilansir Reuters, dilakukan oleh Brenton Harrison Tarrant, 28 tahun asal Australia. Dia menembaki jamaah salat Jumat di dua masjid yaitu masjid Al Noor, yang bersebelahan dengan lapangan Hagley Park, dan masjid Linwood.
50 orang jamaah lelaki, perempuan dan anak-anak meninggal akibat tindakan brutal Tarrant, yang menyerang menggunakan senapan serbu semi-otomatis AR-15. Dia bakal menjalani persidangan lagi pada 5 April 2019 dan kemungkinan terkena dakwaan tambahan. Dia terancam hukuman seumur hidup di Selandia Baru.