TEMPO.CO, Christchurch – Ribuan orang berkumpul di kota-kota di Selandia Baru pada Ahad, 24 Maret 2019, untuk memprotes rasisme dan 50 korban meninggal warga Muslim akibat serangan teror di Selandia Baru.
Baca:
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, bakal menggelar hari nasional untuk memperingati peristiwa ini pada pekan besok.
Sekitar 15 ribu warga lintas agama dan etnis menggelar acara perenungan di lapangan Hagley Park, yang berlokasi di dekat masjid Al Noor, yang menjadi sasaran aksi penembakan massal Brenton Harrison Tarrant, 28 tahun, yang diduga pendukung kelompok supremasi kulit putih.
Sebanyak 41 orang jamaah salat Jumat tewas di masjid Al Noor, dan 7 orang lainnya tewas di masjid Linwood di Kota Christchurch. Dua orang tewas di rumah sakit dengan delapan orang lainnya masih dalam keadaan kritis.
Baca:
“Acara peringatan ini menjadi kesempatan lagi untuk menunjukkan bahwa bangsa Selandia Baru merupakan bangsa yang penyayang, inklusif dan beragam. Kita melindungi nilai-nilai ini,” kata Ardern dalam pernyataan yang dirilis kantor Perdana Menteri, seperti dilansir Reuters pada Ahad, 24 Maret 2019.
Banyak warga perempuan non-Muslim datang ke acara ini sambil mengenakan hijab atau kerudung sebagai penghormatan kepada komunitas Muslim di Kota Christchurch, yang telah digelar sebelumnya.
Ardern mengatakan layanan peringatan nasional ini akan digelar para 29 Maret 2019 untuk menghormati para korban, yang mayoritas adalah imigran dan pengungsi. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Indonesia, Malasia, Bangladesh, India, Pakistan, Turki, Yordania, dan Somalia.
Baca:
Ardern mendapat pujian dari berbagai kalangan atas kepemimpinannya pasca serangan teror di Selandia Baru. Dia mengutuk aksi penembakan massal itu sebagai bentuk terorisme, memperketat aturan dalam undang-undang senjata dan mengekspresikan solidaritas nasional dengan para korban dan keluarga mereka.
Acara peringatan di dekat masjid Al Noor diawal dengan pembacaan doa sesuai ajaran Islam dan diikuti pembacaan nama-nama para korban. Ini termasuk dua nama siswa sekolah menengah atas Cashmere High School, yang terletak tidak jauh dari lokasi.
“Kegelapan tidak bisa mengalahkan kegelapan. Hanya cahaya yang bisa melakukannya,” kata Okirano Tilaia, salah satu murid di sekolah Cashmere, kepada warga yang berkumpul. “Kebencian tidak bisa mengalahkan kebencian, hanya cinta yang bisa.”
Baca:
Sebelumnya pada hari yang sama, sekitar 1000 orang berparade mengecam rasisme di ibu kota Auckland. Mereka membawa spanduk dan plakat dengan tulisan ‘Nyawa para Migran berharga’ dan ‘Pengungsi di terima di sini’.
Saat ini, warga Muslim hanya berjumlah sekitar 1 persen dari total populasi Selandia Baru yaitu sekitar 4.8 juta jiwa. Menurut sensus 2013, mayoritas warga negeri Kiwi terlahir di luar negeri.
Salah satu anggota keluarga korban, Shahadat Hossain, kehilangan saudaranya Mojammel Haque. Lelaki asal Bangladesh ini datang untuk menjemput jenazah saudaranya dan dibawa pulang ke negaranya.
“Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaan saya melihat jasad saudara saya,” kata Hossain kepada Reuters.
Sekitar 15 ribu warga menghadiri acara peringatan penembakan massal yang menewaskan 50 jamaah salat Jumat dalam serangan teror Selandia Baru. Sebagian warga perempuan lintas agama mengenakan kerudung atau hijab sebagai bentuk dukungan bagi komunitas Muslim di sana. NZ Herald.
Seorang korban selamat, Farid Ahmed, yang lolos dari aksi penembakan Tarrant di masjid Al Noor mendatangi satu per satu tetangganya Ahad ini untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka. Pria yang duduk di kursi roda ini kehilangan istrinya Husna, yang tewas setelah sempat menyelamatkan anggota jamaah masjid dari serangan itu.
“Para tetangga datang berlarian, mereka menangis, dan berlinang air mata,” kata Ahmed mengenai sikap para tetangga begitu menyaksikan Husna meninggal. “Itu merupakan sikap yang sangat bagus dan ekspresi cinta. Dan saya merasa saya harus mengambil kesempatan ini untuk mengatakan kepada mereka bahwa saya mencintai mereka.”
Baca:
Seperti dilansir News, Tarrant, 28 tahun, berasal dari Kota Grafton, Australia, dan telah tinggal selama sekitar 2 tahun di Kota Dunedin, yang berjarak sekitar 337 kilometer dari Kota Christchurch, tempat dia melakukan serangan teror di Selandia Baru.
Tarrant menulis manifesto yang menunjukkan sikap penolakan terhadap imigran, yang dianggapnya sebagai pelaku invasi di negara bangsa Eropa. Pelaku teror di Selandia Baru ini terkena dakwaan pembunuhan dengan ancaman hukuman seumur hidup.