TEMPO.CO, Moskow – Pemerintah Rusia mengecam sanksi baru dari pemerintah Amerika Serikat sebagai tindakan ilegal. Moskow mengatakan bakal melakukan langkah balasan seiring melemahnya mata uang rubel ke titik terendah dua tahun terakhir.
Baca:
“Keputusan Amerika ini sangat tidak bersahabat dan tidak dapat diasosiasikan sebagai konstruktif terkait pertemuan Presiden kedua negara kemarin,” kata Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin seperti dilansir Reuters pada Kamis, 9 Agustus 2018.
Peskov mengkritik keputusan AS untuk mengaitkan sanksi itu dengan kasus racun syaraf yang terjadi di Inggris. Kremlin selama ini melihat kasus itu sebagai plot dari negara Barat untuk memojokkan Rusia dan merusak reputasinya sehingga bisa menjadi alasan pemberian sanksi baru.
Seperti diberitakan Guardian, Sergei Skripal, yang merupakan bekas kolonel di dinas intelijen militer Rusia yaitu GRU, serta putrinya yang berusia 33 tahun ditemukan pingsan di sebuah bangku di mal di Kota Salisbury, Inggris Selatan. Keduanya diduga terkena racun syaraf novichok, yang ditempelkan pada gagang pintu rumahnya. Keduanya telah pulih setelah menjalani perawatan selama sekitar satu bulan.
Peristiwa ini memicu pengusiran sekitar 100 diplomat Rusia dari berbagai negara Barat termasuk AS dan Inggris. Rusia membalas tindakan ini dengan mengusir diplomat dari sejumlah negara Barat dengan jumla yang sama.
Soal sanksi ini, Direktur Carnegie Moscow Center, Dmitri Trenin, mengatakan sanksi yang diumumkan kementerian Luar Negeri AS itu sebagai perang hibrida atau hybrid war.
Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiahkan bola yang dipasangi chip pemancar kepada Presiden AS Donald Trump sehingga muncul kecurigaan chip itu untuk meretas.
“Sanksi – sanksi ini menjadi senjata pilihan AS,” kata Trenin lewat cuitan di Twitter. “Sanksi itu bukan menjadi instrumen melainkan menjadi kebijakan itu sendiri. Rusia akan harus menghadapi ini selama beberapa tahun ke depan, bersiap untuk yang terburuk dan melawannya sebisa mungkin.”
Sanksi terbaru dari AS ini berupa pelarangan penjualan produk teknologi sensitif kecuali terkait dengan eksplorasi luar angkasa dan penerbangan komersial. Ini akan berlaku pada akhir Agustus 2018. Sanksi ini akan diikuti sanksi berikutnya yang berlaku dalam tiga bulan. Ini terjadi jika Rusia tidak menunjukkan lokasi terkait pembuatan racun syaraf kepada PBB ataupun lembaga internasional lainnya, yang akan melakukan inspeksi.
Media CBC melansir sanksi baru ini membuat mata uang Rusia yaitu rubel melemah sekitar 1 persen terhadap dolar sebelum menguat kembali. Ini juga membuat terjadinya penjualan obligasi pemerintah Rusia dan membuat indeks saham di Rusia sempat melemah.
Baca:
Ilmuwan Rusia Buka Suara Soal Racun Novichok, Ini Pengakuannya
“Ada kepanikan lokal di pasar uang,” begitu dilansir BCS Brokerage dalam catatannya. “Ada kalanya, jumlah orang yang ingin menjual rubel menjadi begitu tinggi sehingga likuiditas tidak mencukupi.”
Meski rubel sempat melemah, bank sentral Rusia tidak akan mengintervensi. Kementerian Keuangan Rusia mengatakan tidak ada ancaman terhadap stabilitas pasar uang. Pasar mengartikan ini sebagai indikasi bank sentral tidak akan menggunakan cadangan devisa yang saat ini mencapai US458 miliar atau sekitar Rp6,6 triliun.