TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menyerukan kepada negara-negara anggota Pengadilan Kriminal Internasional untuk bergabung dengan negaranya keluar dari lembaga itu.
Duterte mengatakan ini terkait pernyataannya sebelumnya bahwa Filipina keluar dari Pengadilan Kriminal ini menyusul dimulainya penyelidikan awal lembaga internasional itu atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam perang terhadap narkoba.
Baca: Presiden Duterte Yakin Tidak Akan Dihukum ICC
"Saya akan meyakinkan semua orang yang menandatangani perjanjian itu untuk keluar, keluar," kata Duterte di hadapan para kadet Akademi Militer Filipina saat acara wisuda, yang berlangsung di Filipina bagian utara, pada Ahad, 18 Maret 2018. Filipina merupakan negara kedua setelah Burundi yang keluar dari lembaga internasional ini.
Baca: Duterte Ancam Lempar Penyidik HAM PBB ke Buaya?
"Perjanjian itu, jika kamu baca, hanyalah kebohongan," tambah Duterte. Menurut dia, pernjanjian itu harus dipublikasikan terlebih dulu agar orang-orang tidak mengabaikannya.
Duterte juga mengatakan akan melanjutkan perang narkoba hingga kelar. "Saya harus menyelesaikan ini. Kerjakan saja tugasmu dan saya yang mengurus sisanya."
Para aktivis HAM dan lembaga advokasi dari dalam dan luar Filipina mengecam kebijakan Duterte itu yang, menurut versi pemerintah, telah menewaskan sekitar 4000 bandar dan pengedar narkoba lewat extra judicial killling. Namun, lembaga independen menduga jumlah korban jauh lebih banyak yaitu sekitar 8000 orang sejak perang narkoba dicanangkan pada Juli 2016.
uterte menuding pembentukan Pengadilan Kriminal Internasional ini merupakan upaya negara-negara Eropa untuk menghapus dosa masa lalu mereka. Dia juga menuding Eropa telah mencuri minyak negara-negara Arab dan menyebarkan permusuhan di kawasan Timur Tengah.
Seorang pria, yang istrinya ditangkap saat operasi anti-narkoba dan ditemukan tewas sehari kemudian, tidur di kasur di samping keponakannya di luar gubuknya di Navotas, Metro Manila, Filipina, 6 Desember 2017. Gubuk-gubuk kumuh di kawasan yang lebih dikenal sebagai Market 3 ini menjadi saksi bisu perang berdarah terhadap narkoba yang diluncurkan Duterte sejak Juni 2016 lalu. REUTERS
Media Philstar.com melansir Uni Eropa menyayangkan keputusan Duterte itu pada pekan lalu. "Pengadilan Kriminal Internasional merupakan institusi kunci untuk membantu warga negara mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan kejahatan serius, yang tidak mungkin diselesaikan di tingkat negara," begitu pernyataan Uni Eropa seperti dikutip media Filipina itu.
Media ini juga melansir persiapan penandatanganan Statuta Roma, yang mendirikan ICC, dilakukan oleh dua negara Afrika yaitu Trinidad dan Tobago dalam kerangka Koalisi untuk Pengadilan Kriminal Internasional. Pembahasan lalu berlanjut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
ICC mulai memeriksa kasus dugaan kejahatan kemanusiaan oleh Duterte setelah mendapat laporan dari pengacara Jude Sabio asal Filipina. Sabio melaporkan Duterte bertanggung-jawab atas kematian lebih dari 7000 oranng tersangka bandar dan pengedar narkoba.