TEMPO.CO, Jakarta --Rusia membuktikan bahwa dokumen bertajuk Kajian Postur Nuklir Amerika Serikat berfokus pada Rusia, sekalipun para pejabat AS membantahnya. Russia Today yang menggungah dokumen NPR tersebut menjelaskan, nama Rusia disebut sebanyak 127 kali dalam dokumen itu.
Sebagai perbandingan, seperti dikutip dari Russia Today pada 2 Februari 2018, dokumen NPR menyebut nama Korea Utara sebanyak 62 kali, menyusul Cina 47 kali dan Iran sebanyak 39 kali.
Baca: Cina dan Rusia Kecam Sistem Senjata Nuklir Baru Amerika
Selain itu, dokumen yang dibantah tidak berfokus pada Rusia itu, justru memuat pernyataan Washington menyalahkan dialog strategis tentang isu nuklir dengan Moskow yang mengalami penurunan.
Dokumen ini juga menyinggung modernisasi senjata nuklir dan senjata strategis Rusia lainnya, termasuk penerapan strategi dan kapabilitas terkait eskalasi nuklir dan adanya kalimat "penguasaan atas Crimea dan ancaman nuklir terhadap sekutu-sekutu kami."
"Sinyal aksi Moskow merupakan keputusan untuk kembali bersaing menjadi Penguasa Adi Daya," ujar NPR dalam dokumennya.
Baca: Amerika Luncurkan Senjata Nuklir Baru Saingi Rusia--Korea Utara
Dokumen NPR ini memberi peringatan dengan menggambarkan kemampuan aktual Rusia dan senjata nuklir yang akan datang. Moskow disebut memiliki manfaat signifikan atas kapasitas produksi senjata nuklirnya dan kekuatan nuklir non-strategi terhadap AS dan sekutunya.
Dokumen ini disebut juga menyinggung tentang pengembangan sedikitnya dua sistem rudal antar benua milik Rusia yakni, peluncur rudal hipersonik dan senjata senjata nuklir antarbenua, torpedo dengan sistem otonom di bawah laut.
Rusia kemudian dituduh telah melanggar Perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah karena membuat sistem peluru kendali jelajah yang diluncurkan dari daratan. Tuduhan ini mengingatkan kembali pernyataan pejabat AS kepada New York Times pada Juli2 014 bahwa Rusia sedang membuat rudal RK-55 atau dikenal sebagai SSC-X-4.
Baca: Rusia Keluarkan Travel Warning, Tuding AS Memburu Warganya
Pentagon merilis sebuah kebijakan senjata nuklir baru untuk mengakhiri kebijakan era Presiden Barack Obama untuk mengurangi ukuran, cakupan dan peran senjata nuklir dalam perencanaan pertahanan pada Jumat, 2 Februari 2018.
Pejabat pemerintahan Donald Trump dan militer AS berpendapat pendekatan Obama terbukti terlalu idealis, terutama karena hubungan dengan Moskow memburuk. Rusia, Cina dan Korea Utara kini sedang berlomba menunjukkan kemampuan senjata nuklir mereka.