TEMPO.CO, Canberra - Managing Director The Australian Broadcasting Corporation (ABC), Mark Scott, membela medianya dalam kaitan dengan keputusan memberitakan penyadapan Australia terhadap Indonesia. Bersama harian The Guardian, ABC pertama kali membeber data bahwa pada 2009 Australia melakukan penyadapan terhadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat.
"Ini semua demi kepentingan publik," katanya, saat dimintai keterangan dalam sidang dengar pendapat Senat Australia. Dia membandingkan kasus ini dengan skandal Australian Wheat Board (AWB). "Lambat laun akan terbongkar."
Skandal AWB mencuat pada 2006. Saat itu, lembaga yang kini diswastanisasi itu ketahuan menggelembungkan harga gandum untuk dijual ke Irak pada era Sadam Hussein. Keuntungan dari penjualan itu digunakan untuk menutup utang US $ 7,8 juta pada perusahaan minyak raksasa BHP. Hingga 1996, BHP menjual 20.000 ton gandum, yang disediakan oleh AWB, kepada pemerintah Irak dengan imbalan hak atas minyak.
Dia menolak anggapan bahwa ABC dan The Guardian Australia sengaja menahan dokumen itu selama berbulan-bulan sebelum diterbitkan. Sebelumnya, kubu konservatif menuding dua media sengaja menyimpan dokumen itu, "Dan diterbitkan pada saat yang tepat untuk mencelakakan Perdana Menteri Tony Abbott."
Pengungkapan skandal penyadapan itu telah membuat tegang hubungan antara Canberra dan Jakarta. Indonesia memutuskan memanggil pulang duta besarnya dan menuntut Australia memberikan penjelasan yang memadai. Di sisi lain, Tony Abbott merasa tak perlu menjelaskan dan meminta maaf pada Indonesia.
ABC dan The Guardian Australia menerbitkan tulisan terkait dengan penyadapan itu berdasarkan dokumen yang diperoleh dari mantan kontraktor intelijen Amerika Serikat, Edward Snowden. File Defence Signals Directorate (DSD) Australia tertanggal November 2009 mengungkapkan serangkaian target intelijen tingkat tinggi di Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya.
ABC | TRIP B