TEMPO.CO, Jakarta - Pravit Rojanaphruk, jurnalis Thailand yang ditahan junta militer Thailand pada 13 September 2015, mengundurkan diri dari surat kabar berbahasa Inggris tempatnya bekerja, The Nation. Pernyataan pengunduran diri ini dilayangkan sehari setelah ia dan dua politikus Thailand dibebaskan oleh junta militer pada 14 September.
Pravit, melalui akun Twitter miliknya, menyatakan pengunduran diri itu menyelamatkan surat kabar The Nation dari tekanan-tekanan di masa mendatang. "Thanks The Nation for everything. After discussing with management I agreed to resign to save the paper from further pressure. #Thailand," cuit Pravit di akun Twitter miliknya.
Pernyataannya di akun Facebook lebih lengkap. "I have decided to resign from The Nation newspaper after a meeting with the management and being requested to resign in order to save the paper from enormous pressure from all sides in the aftermath of being detained by the military junta," ia menulis.
Pravit, masih dalam akun Facebook-nya, menyatakan sebetulnya ia menyayangi dan peduli dengan kantor tempatnya bekerja selama 23 tahun. Namun, jika keputusannya mundur memang menyelamatkan tempat itu dari tekanan politik, ia bersedia melakukannya.
"I thank The Nation for all the good and difficult times we shared and endured. #Thailand #thenation," tulisnya.
The National Council for Peace and Order (NCPO) melepaskan Pravit dari tahanan militer setelah menekannya untuk menandatangani pernyataan tidak membuat opini yang menyerang pemerintahan junta. Kolumnis dan wartawan senior The Nation ini juga diminta untuk tidak memimpin atau menginisiasi suatu gerakan dan berkontribusi dalam gerakan anti-junta.
Pravit, 48 tahun, dikenal sebagai figur yang memperjuangkan kebebasan berpendapat di Thailand. Sejak terjadi kudeta pada Mei 2014, dia mengkritik keras pemerintah junta militer melalui kolomnya dan di media sosial. Pravit juga pernah ditahan oleh junta militer pada 2014.
Para pengacara yang bergabung dalam kelompok hak asasi manusia Thailand yang menemani Pravit menjelaskan pria itu dipanggil junta dengan alasan attitude adjustment. Menurut mereka, ini semacam program yang digunakan pemerintah untuk menangkapi para pembangkang.
Sebelum dipanggil junta militer pada Minggu, 13 September 2015, Pravit juga sempat mengunggah status pada akun Twitter-nya sekitar pukul 14.00 waktu setempat. "Freedom can't be maintained if we're not willing to defend it. #Thailand #," cuit Pravit. Cuitan inilah yang 'membakar' junta Thailand.
Direktur Asia Human Rights Watch Brad Adams mengatakan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dijadwalkan menghadiri pertemuan PBB di New York pada minggu keempat September. Menurut dia, kehadiran Prayuth dalam perhelatan itu diharapkan menjadi momen bagi para pemimpin negara di seluruh dunia untuk menekan junta Thailand agar menghormati HAM dan mengupayakan demokrasi di negaranya
BBC | HRW.ORG | THE NATION | NIEKE INDRIETTA