Biasanya, dalam satu ruangan kelas, ada 25 murid. Guru bisa memiliki satu atau dua asisten, tergantung kebutuhan. Nah, di ruang kelas ini, guru bebas menerjemahkan kurikulum nasional. Tentu saja keleluasaan ini menuntut guru yang berkualitas. Itu sebabnya semua guru harus sarjana. Guru taman kanak-kanak harus tiga tahun kuliah pedagogi. Guru sekolah dasar harus menempuh lima tahun kuliah. Lalu, guru mata pelajaran khusus, misalnya matematika atau biologi, harus menamatkan enam tahun kuliah. Bahkan para profesional yang hendak mengajar di sekolah vokasi, politeknik, juga wajib lebih dulu mengambil mata kuliah pedagogi.
Nah, dengan guru yang berkualitas, semua mata pelajaran bisa disampaikan dengan menyenangkan. Tak ada batas dan tembok antar-pelajaran, semua subyek dipelajari dengan metode interdisiplin. Keriangan kelas yang tergambar pada awal tulisan ini adalah contoh metode pengajaran yang interdisiplin. Murid belajar menggambar tetapi yang digambar sejatinya adalah pelajaran anatomi burung, atau susunan planet di galaksi. Belajar menggambar dan ilmu pengetahuan alam sekaligus. Lalu, ketika murid berimajinasi merancang cerita, sesungguhnya mereka belajar bahasa, tepatnya tentang cara menyusun kalimat secara lengkap, subyek-predikat-obyek. Walhasil, logika dan alur berpikir menjadi terlatih lebih komprehensif. Murid diajak memahami persoalan, bukan sekadar menghafal angka dan data.
“The joy of learning. Belajar adalah proses menyenangkan. Itu jurus yang harus dipegang,” kata Kristi Lonka, profesor psikologi dari Universitas Helsinki. Karena itu, di dalam kelas, susunan meja dan kursi pun harus feksibel. Furniture harus bisa dibongkar-pasang untuk mengakomodasi kerja kelompok. Semua tugas murid di dalam kelas memang dirancang berdasar kerja kelompok, bukan individu. Mengapa? “Karena dalam kelompok tumbuh yang disebut knowledge creation, penciptaan pengetahuan,” kata Lonka. “Sedangkan dalam kerja individu, yang terjadi adalah knowledge acquisition, akuisisi pengetahuan.”
Tea Vuorinen, guru kelas 1 dan 2 di Sekolah Dasar Vikki, menjelaskan bahwa sistem kelompok di kelas memungkinkan murid mengasah keahlian sosial. Saling dukung, berdiskusi, mendengar, dan bekerja sama, adalah unsur utama. Seluruh isi kelas bersama mengupayakan tak ada murid yang tertinggal. “Kami bersama-sama belajar tumbuh menjadi manusia,” kata nona 28 tahun ini. Vuorinen tak takut jika kelasnya melewatkan satu atau dua bab pelajaran matematika. “Sebab, yang terpenting mereka paham dan tumbuh dengan baik,” kata Vuorinen, yang tampil modis kasual dengan celanan ketat dan bersepatu kets.
Selanjutnya: Tak Ada Gading yang Tak Retak