TEMPO.CO, Seoul - Perawakan Lee Sun-sil tegap, tinggi badannya sekitar 170 sentimeter, memiliki sepasang mata yang tajam, serta bahu yang lebar dan berotot. Penampilan fisik perempuan usia 47 tahun ini seolah menjelaskan dirinya bukan warga jelata Korea Utara yang mengais makanan di jalanan, kelaparan, dan menderita kekurangan gizi yang akut.
Lee Sun-sil tersenyum lebar seolah membaca pikiran 19 jurnalis dari 19 negara yang mewawancarainya di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Korea Selatan, Seoul, Korea Selatan, Selasa, 17 November 2014. “Saya dulu 11 tahun bertugas di satu batalion militer Korea Utara,” kata Lee dalam bahasa Korea memulai testimoninya. (Baca:Korut Buka Pintu untuk Penyelidik HAM PBB )
Lee menjelaskan pelarian dirinya dalam acara Arirang TV bertajuk "Invitational Program for International Journalist 2014". Bertemu dengan para pelarian asal Korea Utara adalah satu dari sejumlah kegiatan yang diikuti para jurnalis internasional dari tanggal 15 – 22 November 2014.
Di Korea Utara, Lee menuturkan, militer menempati kelas sosial tertinggi, memenuhi kebutuhan militer adalah yang pertama dan utama. Ini peraturan yang diberlakukan oleh penguasa Korea Utara sejak dulu. Sehingga jarang sekali terdengar prajurit militer Korea Utara menderita kelaparan atau melarikan diri dari negara itu. Cerita pelarian Lee Sun-sil menggoyang semboyan militer adalah satu dan loyal sepenuhnya kepada negara dan pemerintah Korea Utara. (Baca:Korut Akui Miliki Penjara 'Labour Camps')
Lee adalah perwira angkatan bersenjata Korea Utara berpangkat letnan. Sebelum melarikan diri, ia bekerja di satu batalion. Ia kemudian dipecat oleh atasannya, namun Ia tidak menjelaskan alasan pemecatan tersebut. Setelah itu, hidupnya berubah drastis. Ia dan keluarganya mulai merasakan kelaparan setiap hari. Berat tubuhnya menurun drastis, giginya pun rusak, dan kekurangan gizi akut.
Beratnya hidup memicu keberaniannya untuk lari keluar dari negaranya. Selama 10 kali mencoba lari selama itu pula ia tertangkap dan mengalami penyiksaan berat. Barulah pada tahun 2007 ia berhasil lolos masuk ke Korea Selatan melalui Mongolia. Ia diselamatkan tentara Mongolia saat berjuang hidup di tengah gurun pasir selama 6 hari. “Sudah tujuh tahun saya tinggal di Korea (Korea Selatan),” ujar ibu satu anak ini.(Baca:Dua Warga Korut Berenang Melintasi Perbatasan)
Ia harus membayar mahal untuk pelariannya itu. Ia terpaksa kehilangan anak perempuannya berusia 2 tahun yang ia bawa saat melarikan diri. Ia menyaksikan anaknya dijual seharga US$ 2.000 saat ia tiba di Cina. Dirinya sendiri sempat dijual seharga US$ 5.000 dalam pelariannya di Cina. Ia tertangkap, disiksa, dan kemudian nekad melarikan diri lagi melalui Mongolia. “Saya terus mencari anak saya sampai sekarang. Ia tidak mengenal saya karena waktu itu dia masih bayi,“ ujarnya.
Suaminya, perwira rendah di angkatan bersenjata Korea Utara dipecat dari kesatuan militer dan dikirim ke kamp kerja paksa sebagai balasan atas pelarian Lee. Keluarga lainnya pun bernasib sama buruknya sebagai hukuman atas aksi nekad perwira militer itu.
Aksi pelarian Lee menambah panjang jumlah pelarian Korea Utara ke Korea Selatan. Dua negara bersaudara yang dipisahkan setelah Perang Korea pada tahun 1950-an itu, memang kontras berbeda. Mereka sekarang menikmati hidup sebagai orang bebas di Kore Selatan. Kini, sekitar 27 ribu pelarian dari Korea Utara tinggal di Korea Selatan.
Lee berharap sekitar 27 ribu pelarian dari Korea Utara menjadi sumber kekuatan untuk mengakhiri kekejaman rezim Korea Utara satu saat nanti. “Impian saya 27 ribu pelarian satu suara tentang pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara. Kami pun bisa menjadi orang merdeka,” ujarnya bersemangat.
MARIA RITA (Seoul)
Baca juga:
Perusahaan RI Ini Pasok Kertas Uang Luar Negeri
BBM Naik, Jokowi Langgar UU APBN 2014
Menteri Susi Nge-fans dengan Perempuan Ini
Pindad Rambah Produksi Kembang Api