TEMPO.CO, Jakarta -Tya Gustiasih, seorang warga Indonesia (WNI) yang tinggal di Lebanon sejak 2006, memilih untuk tetap tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Akkar, Lebanon Utara. Ini dilakukan meski situasi di negara tersebut semakin sulit akibat konflik dan keterbatasan ekonomi.
Sejak datang ke Lebanon bersama suaminya yang berkewarganegaraan Lebanon, Tya merasakan bagaimana sulitnya kehidupan di negara yang memiliki sejarah konflik berkepanjangan ini. Kini, di tengah keterbatasan listrik, air, dan melonjaknya harga pangan, Tya tetap bertahan.
Situasi ekonomi dan energi di Lebanon saat ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Tya dan keluarganya. Listrik dari pemerintah hanya tersedia selama empat jam dalam sehari, yaitu dua jam di pagi hari dan dua jam di malam hari.
Kondisi ini mendorong Tya dan keluarganya untuk menggunakan tenaga surya sebagai sumber listrik utama, meskipun biaya pemasangannya cukup mahal.
Sementara itu, ketersediaan air juga terbatas. Karena listrik sering padam, sebagian besar warga harus membeli air dari luar. Tya dan keluarganya harus mengeluarkan sekitar $7 per pengisian air beberapa kali dalam satu bulan.
Selain listrik dan air, harga bahan pokok di Lebanon terus mengalami kenaikan. Tya menjelaskan, kenaikan ini terjadi karena tidak ada kontrol harga yang memadai dari pemerintah.
Akibatnya, harga barang berbeda di setiap toko, dengan harga bahan pokok seperti roti, sayuran, dan daging yang semakin mahal dan sulit dijangkau. Di tengah kenaikan ini, Tya harus berhemat dan menyediakan kebutuhan mendasar bagi keluarganya.
Di tengah situasi yang semakin memanas, khususnya di wilayah selatan Lebanon, dampak perang dirasakan semakin dekat oleh warga. Pemerintah Lebanon yang sudah dua tahun tanpa presiden, kini dihadapkan pada tantangan besar untuk menangani gencatan senjata dan mengupayakan perdamaian.
Sementara itu, bantuan dari negara-negara Arab dan distribusi bahan pangan belum merata, dengan beberapa konvoi bantuan bahkan terkena serangan bom.
Meskipun kondisi keamanan semakin buruk, Tya memilih untuk bertahan di Akkar, jauh dari daerah konflik utama. Salah satu alasan utamanya adalah keberadaan ayah mertua yang sudah lanjut usia dan perlu perawatan keluarga.
“Suami saya tak bisa meninggalkan ayahnya, dan saya merasa aman bersama mereka. Anak-anak juga lebih memilih tinggal di sini karena merasa dekat dengan ayah mereka,” ujar saat dihubungi TEMPO pada Sabtu 26 Oktober 2024.
KBRI di Lebanon memberikan bantuan dan dorongan kepada warga negara Indonesia yang masih bertahan. Tya mengapresiasi dukungan tersebut, bahkan memiliki grup WhatsApp dengan komunitas Indonesia di Lebanon yang selalu saling memberikan informasi dan dukungan.
Dia juga menyampaikan rasa syukurnya karena masih bisa merasa aman meskipun perang berkecamuk di sebagian wilayah Lebanon.
Di tengah segala keterbatasan, Tya juga menjalankan bisnis kecil-kecilan dari rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Dia mengajar les bahasa Inggris dan menjalankan toko online kecil, menjual produk seperti Avon, Tupperware, dan kosmetik lokal. Meski bisnisnya menghadapi tantangan besar akibat perang, Tya tetap optimis dan menganggap ini adalah bagian dari perjuangan hidup.
“Selama kita masih memiliki keyakinan dan kesabaran, saya yakin akan selalu ada jalan keluar."
Israel telah melancarkan kampanye udara besar-besaran di Lebanon sejak bulan lalu terhadap apa yang mereka klaim sebagai sasaran Hizbullah. Ini eskalasi perang lintas batas antara Israel dan kelompok tersebut selama satu tahun sejak dimulainya serangan brutal Israel di Gaza.
Lebih dari 2.700 orang telah terbunuh dan hampir 12.500 orang terluka dalam serangan Israel sejak Oktober tahun lalu, menurut otoritas kesehatan Lebanon.
Israel memperluas konflik pada 1 Oktober tahun ini dengan melancarkan serangan ke Lebanon selatan.
Pilihan Editor: Profil Pemimpin Hizbullah Naim Qassem, Baru Terpilih Diancam Israel