Iklan
TEMPO Interaktif, Baghdad: Setiap Jumat di Baghdad adalah hari libur. Kebanyakan toko-toko tutup, begitu juga kantor-kantor pemerintah dan partai. Setelah berziarah ke Kadzimiyah, dua makam Imam kaum Syiah, dan merasakan suasana Jumat di sana, serta menuntaskan wawancara dengan seorang tokoh politik, saya berencana istirahat di hotel saja, menyelesaikan laporan. Tiba-tiba, telepon selulerku berbunyi. "Pik, kesini isteriku mengajak makan siang bersama," kata suara laki-laki di telepon.Aku sebenarnya, sudah makan siang dengan sopir asalPalestina, Ahmad Khalil. Siang itu aku makan Quzi,sepotong daging kambing besar dengan nasi, serta kuahseperti gulai. Namun, ajakan Ahmad Gofar tak bisa akutampik. Nama lelaki itu dan nomor teleponnya aku dapatdari wartawan Radio BBC seksi Indonesia di London.Selama ini komunikasi kami lewat telepon saja. Karena,sehari sebelumnya, aku berniat berkunjung ke rumahnyaJumat sore, untuk kongkow-kongkow.Dengan taksi aku meluncur ke daerah Al-Jadriyah, takjauh dari Hotel Babylon, masuk ke sebuah jalan yanglebih kecil, ke sebuah daerah perumahan. Aku tidaktahu letak rumahnya, sopir taksi kubiarkan bicaradengan Gofar lewat hand-phone ku. Patokannya, dekat Kedutaan Korea Selatan. Di dekat Kedutaan Korea, sopir taksi berhenti, dan aku bertanya tentang rumah orang Indonesia. Ternyata rumahnya cuma di seberangnya, sekitar lima kaki melangkah. Rumah batu berwarna krem. Bel rumah kupencet, seorang laki-laki bertubuh padat dengan tinggi sekitar 165 centimeter, membuka pintu. Assalamualaikum.Aku masuk ke rumahnya, penganan kecil berupa kripikdan coklat, serta senampan buah-buah-buah dihidangkan. Diruang itu ada orang lain juga berwajah Indonesia, Nanang Rusmana namanya, berasal dari Garut, Jawa Barat. Di ruang selebar 2 x 3 meter, komplit, seperangkat komputer dengan modem, printer dan scanner, juga televisi lengkap dengan pemancar penangkap satelit. "Kalau gak pakai satelit, gak bisa tahu dunia lain," katanya. Di dalam ruang itu juga terdapat sebuah tempat tidur dan pemanas ruangan. Dari jendela rumahnya, tampak belasan pohon korma menjulang ke langit. "Kalau lagi musim, korma tumbuh kekuning-kuningan," kata Nanang.Daerah tempat tinggal Gofar, banyak terdapat beberapa kantor kedutaan. Selain kedutaan Korea Selatan, ada kedutaan Filipina, Srilangka dan Wisma Indonesia. "Saya beli rumah ini, beberapa saat sebelum Saddam Hussein jatuh. Sebelumnya saya tinggal di dekat Bandara," katanya. Bersama Gofar, tinggal istrinya, orang Irak, dan tiga anaknya. Yang tertua, perempuan kuliah di Baghdad, begitu juga yang kedua. Si bungsu sekolah di Dortmund, Jerman. Istrinya, keluar memperkenalkan diri.Dari rumah Gofar, seringkali terdengar rentetantembakan. "Itu suara senjata tentara Amerika Serikat, mereka sedang latihan tak jauh dari sini," katanya santai. Menurut Gofar, mudah membedakan suara tembakan, yang dikeluarkan polisi Irak dan para gerilyawan Irakdengan senjata milik tentara AS. "Kalau bunyinya,tor.tor.tor, satu persatu berarti polisi Irak ataugerilyawan, tetapi kalau dor.dor..dor, berentetan,berarti senjata tentara AS," ujarnya menggambarkanperbedaan itu. Di kawasan rumah Gofar, mortir-mortir juga sering jatuh. Sering juga terjadi penembakan dan penculikan. Saat saya sedang di rumahnya, terdengar kabar seorang wartawati baru saja diculik, beberapa jam silam. "Tidak jauh dari sini kejadiannya," katanya.Masalah lain di Irak adalah penerangan. Gofar bersyukur, meskipun pasokan listrik setiap hari hanya 2 : 4 atau dua jam menyala, lalu empat jam mati), dia dapat aliran listrik dari Kedutaan Korea yang menyalakan generator."Sebenarnya gak enak juga dengan rumah yang lain, yanglain mati, saya nyala," katanya.Negara lain, seperti Filipina, Korea, India bahkanSrilangka, masih menempatkan kuasa usaha atau wakilnegaranya di Baghdad. Walaupun mereka seringbolak-balik Baghdad-Amman (Jordania) tapi pos mereka tidak pernah ditinggal. Berbeda dengan Indonesia, walaupun bendera masih berkibar Kedutaan Besar Republik Indonesia, yang tak jauh dari Al-Watheq Squar, tak ada seorangpun Indonesia tinggal di dalam kedutaan. Ada seorang Irak yang tak mengerti apa-apa saat, saya berkunjung ke KBRI. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, yang bahkandengan Irak pernah sangat akrab, Indonesia justrumeninggalkan Irak yang sedang terpuruk. Padahal wargaIndonesia bukanlah sasaran kejahatan para penculikatau gerilyawan Irak. Terbukti saat dua tenaga kerjawanita yang pernah diculik, dilepaskan, sedangkanmajikannya sampai sekarang masih berada di tanganpenculik.Apalagi, setelah pemungutan suara yang terbilang cukupsukses, tak ada alasan untuk tidak membuka hubungandiplomatik dengan Irak. Kalau masih takut dengankeadaan, mungkin bisa dimulai dengan misi dagang terlebih dahulu.Banyak barang ekspor Indonesia berguna bagi Irak, seperti teh dan kayu. Kayu yang dipasok ke Irak, kebanyakan datang dari Jordania, tetapi tetap tertulis aslinya dari Indonesia. Yang mendapat keuntungan bukan pengusaha Indonesia, tetapi pengusaha negara lain.Di zaman Saddam berkuasa, Indonesia sering mendapat jatah proyek-proyek pemerintah. Sampai sekarang kalau saya bertemu para pejabat Irak, mereka selalu hangat. "O, Indonesia, muslim? Assalamualaikum," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Irak, Adil Al-Lami, saat saya memperkenalkan diri saat mewawancarainya.Di Irak, Indonesia punya dua tempat KBRI dan WismaIndonesia, dua gedung yang cukup megah itu kini kosongmelompong. Bahkan beberapa orang Indonesia yang pernah minta perlindungan saat kekacauan di Baghdad terjadi, malah disuruh hengkang tanpa pertimbangan kemanusiaan.Pada kejadian penculikan dua tenaga kerja wanita, agenpenyalur di Baghdad sempat bingung mencari konsulatIndonesia, akhirnya mencari orang Indonesia, ketemunyaGofar dan Nanang. "Saya kasih kabar ke Jakarta tapitak ada tanggapan. Baru setelah ada beritanya diAl-Jazeera, semua ribut," kata Nanang yang bekaspegawai KBRI. Ada juga saat seorang TKW bermasalah dengan majikan, mereka lari dan tinggal di rumah Gofar. "Karena tak ada kedutaan dan pintunya ditutup," kata Nanang.Kini lebih dari 100 orang Indonesia berada di Baghdad,tenaga kerja wanita saja ada 90 orang, mahasiswa adabelasan, belum lagi orang Indonesia yang kawin denganorang Irak. Seorang Ketua Partai yang saya temui di rumahnya, mengaku bingung, karena paspor pembantunya asal Indonesia sudah hampir habis. "Kemana saya harus mengurusnya, kalau disini tak ada kedutaan atau konsulat?" kata ketua partai itu. Saya sempat lihat paspornya dikeluarkan di Tangerang.